PROKAL.CO, BANJARBARU - Sejak Desember 2016 sampai Februari 2017, sudah 600 orang lebih yang menjalani tes HIV. Hasilnya, tujuh warga Banjarbaru dinyatakan positif tertular virus mematikan tersebut. Dua ODHA (Orang dengan HIV-AIDS) nekat menolak menjalani pengobatan.
"Dari tujuh yang positif, sayangnya ada dua yang menolak berobat," kata Sekretaris KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Banjarbaru, Edi Sampana.
Ada banyak alasan penolakan. Pertama, ODHA merasa masih sehat bugar dan sangsi dengan hasil tes darah KPA. "Menganggap enteng HIV. Kami pernah menghadapi kasus semacam ini. Benar saja, tanpa pengobatan tak sampai dua tahun jadi almarhum," kisahnya.
Kedua, tak kuat menahan efek samping. Bagi sebagian ODHA, pil Antiretroviral (ARV) memang bisa menyebabkan mual, sakit kepala terus-menerus dan bentol-bentol di kulit. "Malah marah-marah, katanya minum ARV tambah sakit. Lalu memutuskan mencoba pengobatan lain semisal herbal," imbuhnya.
Penyebab ketiga, rasa malu. Edi pernah mendapati seorang pejabat ASN (Aparatur Sipil Negara) yang positif HIV. Takut ketahuan orang lain, si pejabat teras enggan berobat.
"Saya menyarankan dia berobat ke Surabaya saja. Dunia ini kan sempit. Saya mengerti, kalau berobat di sini takut terlihat kenalan. Statusnya sebagai orang terpandang di masyarakat membuatnya kesulitan," tukasnya.
HIV-AIDS memang belum ada obatnya. Tapi setidaknya ARV bisa menahan laju perkembangan virus. Dibiayai anggaran pemerintah, ARV diberikan secara gratis. Kendalanya, Rumah Sakit Idaman di Banjarbaru belum menyediakan ARV.
ODHA harus bolak-balik ke Banjarmasin sebulan sekali untuk mengambil jatah ARV. Dari data KPA, saat ini ada 70 warga Banjarbaru yang rutin meminum ARV. "Banyak yang merasa berat di ongkos, belum lagi antrean mengambil jatah obatnya," pungkasnya.
Ke 600 orang yang dites KPA ini berasal dari pekerja karaoke, hotel, kantor pemerintahan, dan tahanan lembaga pemasyarakatan. Demi kebaikan ODHA, identitas mereka dilindungi. (fud/ran/ema)