BANJARMASIN - Aroma kemenyan tercium tajam di lokasi pelaksanaan ritual adat Dayak “Singer Manetes Hinting Binu.” Ucapan mantra dengan menggunakan bahasa Dayak mengiringi jalannya proses acara.
Bertempat di Jalan Pangeran Antasari Gang 10 Harapan, Banjarmasin Timur, kemarin (19/3) pagi, ratusan warga berbaur menyaksikan ritual adat yang jarang dilihat.
Pihak kepolisian berjaga-jaga di sekeliling lokasi acara dan semua sudut gang. Turut hadir Walikota Banjarmasin Ibnu Sina, Kapolresta Banjarmasin Kombes Pol Wahyono dan Dandim 1007 Letkol Inf Erwin, serta tokoh adat Dayak yang ada di Pulau Kalimantan.
Beberapa sesajen sudah disediakan dalam ritual Bapalas tersebut. Sesajen yang dipersembahkan adalah potongan kepala hewan kerbau dan potongan daging babi serta dua ekor ayam. Di tempat tersebut disiapkan sebuah lubang untuk menguburkan kepala kerbau.
Tak hanya itu, kue khas daerah seperti kue cucur, wajik, cingkaruk juga menjadi salah satu sesajen di ritual adat. Selain itu juga ada sebotol minuman anggur sebagai bahan ritual.
---------- SPLIT TEXT ----------
Dua orang Basir (Rohaniawan) pemimpin ritual berpakaian adat Dayak, nampak menginang atau mengunyah campuran bahan daun sirih dan kapur serta timbaku. Sebilah mandau yang diolesi sedikit cairan darah dari hewan yang dikorbankan dipoleskan ke beberapa sesajen yang disediakan.
Basir membaca mantara sambil menghamburkan beras yang sudah dicampur bahan tertentu dan menguburkan kepala kerbau ke lubang. Ritual ditutup dengan cara memecahkan kerawang baluh atau buah labu, pertanda acara selesai dengan makna apa yang sudah terjadi sudah selesai.
Menurut Basir Kristian Stevanus, pada intinya dalam kegiatan ritual adat Singer Menetes Hinting Bunu, bertujuan untuk melakukan perdamaian. Dua orang Basir mengucapkan mantra dengan berbahasa Dayak.
Di mana ada simbol memecahkan kerawang baluh berbentuk buah labu, yang dimaknai apabila pecahnya buah labu, maka semua dendam dan perselisihan antara kedua belah pihak yang terlibat perkelahian sudah berakhir. Itu artinya tidak ada kata dendam dan berharap tidak akan terjadi lagi.
Selain itu, tambah Dodon -sapaan Kristian- mematahkan ijang pahera memelek ijang pahera berdasarkan adat suku Dayak adalah membuang rasa dendam dan benci antara sesama, khususnya kedua belah pihak yang bertikai.
“Pada intinya ritual ini kita semua ingin kedamaian. Tidak ada unsur pemaksaan dan intimidasi dari pihak lain. Ritual ini perjanjian dengan alam, bukan dengan sesama manusia. Jadi yang berjanji itu antara manusia dan alam serta sang pencipta. Bila ada yang melanggar, maka itu akan bukan dari pihak kita secara manusia, tapi itu dari alam,” jelas Dodon alias Kristian.
---------- SPLIT TEXT ----------
Terpisah Basir (rohaniawan adat Dayak) Rabiadi mengungkapkan bahwa apa yang telah dilaksanakn merupakan upacara atau ritual perdamaain secara adat Dayak. Ritual ini dimaknai dengan mensucikan alam semesta dengan menyimbolkan seekor hewan kerbau yang dikorbankan.
Selain itu, ritual dimaksudkan menetralisir atau menyucikan alam semesta. Dengan simbol memusut kerawang baluh (buah labu) tersebut, maka berhentinya perselisian antarsuku. “Ini ritual turun-temurun. Bila ada pertikaian, dengan adanya ritual ini maka pertikaian yang telah lalu sudah selesai dan damai,” jelas Rabiadi.
Terpisah Ketua DAD (Dewan Adat Dayak) Kota Banjarmasin Arie Tandau mengatakan, apa yang sudah terjadi menjadi pelajaran semua pihak. Dengan adanya ritual tersebut, semua permasalahan dan pertikaian tuntas.
“Suku Dayak yang ada di Kalimantan akan membuat kerukunan bersama dengan suku Madura. Di mana setiap ada kegiatan kita akan selalu menghadiri dan selalu tetap berkomunikasi,” jelas Arie Tandau.(lan)