Wajah Kota Banjarbaru selama ini dikenal sebagai kota yang bersih, rapi, indah dan nyaman. Penduduk Banjarbaru pun dikenal sebagai penduduk dengan tingkat ekonomi yang mapan dan berpendidikan. Namun siapa sangka di sisi lain kota ini adalah puluhan warga hidup dalam lilitan kemiskinan. Untuk urusan buang hajat pun mereka membuang ke sungai
TATAS DWI UTAMA, Banjarbaru
Bau menyengat langsung terasa saat penulis memasuki gang sempit di Jalan Gotong Royong Kelurahan Mentaos, Banjarbaru Utara. Semakin jauh penulis masuk, aroma bau tak sedap semakin terasa. Tak hanya bau, pandangan mata juga disuguhkan dengan banyaknya pipa pembuangan yang mengarah ke sungai. Sungguh bukan pemandangan yang enak di mata.
Itulah gambaran suasana salah satu sudut kampung di RT 02 RW 006 Kelurahan Mentaos. Di sana, ada 41 kepala keluarga (KK) yang hidup dalam kemiskinan. Mereka tinggal di rumah semi permanen tanpa memiliki septic tank.
Salah satu warga bernama Muslim yang sudah 30 tahun tinggal di kampung tersebut menuturkan, awalnya kampungnya hanyalah hutan yang tak berpenghuni. Setelah Jalan Gotong Royong dibuka, barulah tanah di sepanjang jalan tersebut mulai diminati.
Muslim yang merupakan kelahiran Barabai kemudian memutuskan sebidang tanah di kampung tersebut. Ia tak ingat persis berapa luasnya namun ia ingat harganya Rp2 juta dibayar ramai-ramai oleh beberapa kepala keluarga.
“Saat itu saya ingat harga beras satu liter Rp500,” ungkapnya.
Kampung yang dialiri oleh Sungai Pancor tersebut konturnya sebenarnya tidak ideal untuk tempat tinggal. Lokasi rumah bertingkat seperti kampung-kampung di pegunungan. Warga yang tinggal di bagian bawah pun menjadi langganan banjir.
“Yang tinggal di bawah itu rata-rata yang menyewa, karena di bawah itu rumah sewaan,” ujarnya.
Muslim tinggal di kampung tersebut bersama sang istri Sarkiah (45) dan dua anak yakni Ridwan dan Nur. Ridwan masih kelas 6 SD dan Nur kelas 1 SD. Tiga anak Muslim lainnya sudah berkeluarga. Pertama Hendra Saputra yang sehari-hari bekerja sebagai tukang servis TV, Masriah bekerja di penitipan anak, dan Saniah bekerja sebagai ibu rumah tangga.
“Tiga anak saya itu sudah tinggal sama keluarganya masing-masing tapi ya tetap di kampung ini juga, ya bagaimana lagi mereka juga seperti saya, ekonomi pas-pasan,” ungkapnya.
Hidup di lingkungan yang kumuh dan tak sehat sebenarnya bukan menjadi keinginan Muslim dan keluarga. Namun alasan ekonomi membuatnya tetap bertahan. Ia hanya berharap ada bantuan dari pemerintah agar ia dan warga kampung lainnya bisa hidup layak dan sehat.
“Kalau ada dana pemerintah kami berharap dibangungkan septic tank atau kalau pun relokasi kami juga mau yang penting kami bisa hidup sehat,” harapnya. (tas/by/ran)