Meneliti Seks dalam Bahasa Tutur Masyarakat Banjar

- Minggu, 17 Maret 2019 | 10:18 WIB

BANJARMASIN -- Di bawah atap rumah orang Banjar, seks adalah topik yang tabu. Pertanyaan anak tentang seks akan dibungkam seketika oleh orang tua. Tapi di warung kopi, media sosial, bahkan di majelis taklim, humor yang menyerempet tema seks malah menjadi bumbu wajib percakapan. 

Aulia Aziza mengajar mata kuliah sosiologi agama di Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari. Alumni Universitas Gadjah Mada itu sedang meneliti seks dalam bahasa tutur orang Banjar. Topik yang seksi sekaligus sensitif. Apa yang sedang ia cari? 

Lahir tahun 1972 di Tanjung, Kabupaten Tabalong, penelitian itu dipicu kegelisahan saat remaja. "Ketika darah menstruasi pertama keluar, saya panik. Tapi orang tua hanya mengatakan, saya sudah resmi dibebani pahala dan dosa. Cuma itu penjelasannya," ungkapnya. 

Kemarin (16/3), penulis mengunjungi Aulia di rumahnya di Jalan Ahmad Yani kilometer 17. Dia berharap, riset itu tuntas pada Juli nanti. Masih banyak yang harus dikerjakan. Seperti mewawancarai sejumlah agamawan dan budayawan. 

Tapi benang merahnya mulai terlihat. "Masyarakat Banjar itu tertutup. Konservatif. Pertanyaan seks dicap tak sopan. Lebih-lebih jika dilontarkan anak perempuan. Dan saya tumbuh besar di tengah masyarakat seperti itu," imbuhnya. 

Hipotesisnya, tak ada yang namanya pendidikan seks di rumah orang Banjar. "Tak ada orang tua yang mau membahas apa itu masturbasi, proses pembuahan, atau aborsi," tambahnya. 

Dalam kenangannya, beberapa kawan mencari jawaban melalui novel porno. Guru di sekolah takkan segan-segan menjatuhkan hukuman keras. Bagi murid yang ketahuan sedang menikmati buku porno. "Padahal buku porno itu wujud upaya pencarian jawaban," ujarnya. 

Penelitian itu kian mendesak setelah Aulia menjadi ibu dari tiga anak. Dia kerap menghadapi pertanyaan tentang seks dari anak tertua. "Sejak itu, penelitian ini berubah menjadi obsesi pribadi," akunya. 

Pada masa itu, tanda tanya tentang fungsi alat seksual dipuaskan oleh pelajaran biologi dari sekolah. Sekalipun para guru juga membahasnya dengan ekstra hati-hati. Wajar, karena mereka juga produk dari masyarakat tertutup ini. "Praktis, generasi saya terpaksa belajar seks secara otodidak," ujarnya. 

Memasuki era digital, sudah sewajarnya orang tua khawatir. Materi seks berhamburan di internet. Campur aduk dengan pornografi. "Jika orang tua zaman sekarang enggan ditodong pertanyaan soal seks, anak-anak bakal mencari jawabannya dari medsos. Dan jawabannya acapkali liar," jelasnya. 

Jawaban versi liar itu menggiring pada aksi coba-coba. Aulia pernah mewawancarai sejumlah pemilik apotik di Banjarmasin, Banjarbaru dan Martapura. Temuannya, penjualan kondom selalu meningkat pada malam tahun baru dan Valentine. "Sebagai ibu, saya resah mendengar fakta itu," ujarnya. 

Namun, Aulia tak mau menyalahkan orang tuanya. Dia menduga, topik seks menjadi tabu karena karakter masyarakat Banjar yang religius. Tapi setelah menjadi akademisi, dugaan itu terbantahkan. 

Dalam kajian teks Alquran dan Hadits, terutama pada bab fiqih, seks justru dibahas. Diulas secara rinci dan blak-blakan. Contoh, sebuah hadits menyatakan larangan kepada suami untuk menggauli istri dari arah belakang. Istilah kerennya seks anal. 

"Artinya, Islam saja tidak menabukan tema seks. Contoh, dalam kitab-kitab fiqih ada dibahas etika berhubungan badan. Seperti anjuran membaca doa khusus sebelum berhubungan," terangnya. 

Sikap ambigu juga berlaku dalam percakapan sehari-hari masyarakat Banjar. Pada banyak majelis taklim, penceramah lokal menjadikan seks sebagai bumbu wajib. "Humor yang agak cabul disambut dengan baik oleh pendengar. Dianggap menyegarkan. Selalu jitu untuk mengusir kantuk," ujarnya. 

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X