Bersanding Mendengarkan Penghulu Merapal Doa Sampai Pagi

- Sabtu, 4 Mei 2019 | 16:34 WIB

Gemerincing Hiang beradu dengan tabuhan Gandang dan Kalimpat. Semakin malam, bunyi yang dihasilkan semakin nyaring. Diiringi entakan kaki penghulu, kedua mempelai duduk khidmat mendengarkan petuah pernikahan. Semalam suntuk.

Oleh: WAHYU RAMADHAN, Barabai

Ruas jalan di Desa Atiran, Kecamatan Batang Alai Timur (BAT), Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Sabtu (27/4) malam menjelma pasar tradisional. Warung menjamur, stan hiburan rakyat, organ tunggal dengan penyanyi lokal.

Gerimis mengguyur sejak pagi, tidak menyurutkan niat ratusan warga Desa Atiran dan sekitarnya, ikut merayakan pernikahan Rusmin dan Titin. Keduanya warga Suku Dayak Meratus. Mempelai laki-laki, Rusmin dari Desa Kiyu. Istrinya, Titin penduduk Desa Atiran.

Siwan, warga Desa Batu Kambar menyebut, pernikahan warga Dayak Meratus memang selalu melahirkan keramaian. ''Diadakan besar-besaran. Mulai hiburan rakyat hingga ritual adat,” ungkap pria yang desanya bertetangga dengan Atiran.

Sepuluh meter dari keramaian itu, tampak bangunan panjang dari kayu, Balai Adat. Di tempat itulah, kedua mempelai bersanding. Suasana dalam Balai pun semarak. Keluarga besar dan warga berkumpul di balai tanpa sekat itu. Ada yang duduk melingkar, ada pula yang bersandar pada dinding balai. Mereka menunggu prosesi baruji dimulai.

Sederhananya, baruji adalah proses negosiasi mahar pernikahan. Ini mengawali prosesi pernikahan. Setelah itu ada prosesi basanggai, bapayak dan bajanji.

Tetua adat Desa Kiyu, Maribut menjelaskan, bahwa pernikahan selalu berlangsung di desa mempelai perempuan. Aturan tidak tertulis itu sudah berlaku turun-temurun sejak zaman nenek moyang.

Rangkaian acara dipimpin kepala adat dan seorang penghulu. Mereka mewakili masing-masing mempelai. Dalam baruji, penghulu mewakili keluarga mempelai perempuan. Sementara, kepala adat mewakili keluarga mempelai laki-laki. Pembicaraan dilakukan dalam bahasa daerah. Baruji selesai setelah sembilan ikatan bilah bambu keluar.

“Bambu ini mewakili jumlah mahar yang harus dibayar,” ungkap Haris, ketua adat Kecamatan Batang Alai Timur.

Bilah bambu mewakili suara dari perwakilan desa lainnya. Ketua adat dan penghulu bisa saja menyepakati jumlah bilah bambu tertentu untuk mewakili sejumlah desa. Tapi, keputusan ada di tangan perwakilan sembilan desa yang hadir malam itu. Merekalah yang berhak memutuskan berapa banyak bilah bambu yang harus dikeluarkan dalam baruji.

Selanjutnya basanggai alias perarakan. Tapi, sebelum itu, kedua mempelai lebih dulu dirias. Malam itu Rusmin tampil gagah. Laung (penutup kepala, Red) melengkapi setelan jas hitam yang dipakai alumnus Universitas Islam Kalimantan tersebut. Penampilannya sempurna dengan selembar kain berwarna cerah dengan motif kotak-kotak tersampir di bahu.

Sedangkan Titin juga tampil anggun. Dia mengenakan kemben yang dipadukan dengan lilitan kain. Tidak ketinggalan, riasan hena di dahi dan kedua telapak tangannya. Sebagai sentuhan akhir, sarjana pendidikan Universitas Lambung Mangkurat itu memakai kain biru bermotif bunga sebagai penutup kepala. “Seperti pengantin perempuan asal India,” canda Titin.

Selesai dirias, kedua mempelai diarak bergantian di dalam balai adat. Masing-masing berjalan sampai ke ujung ruangan. Inilah basanggai. Ditemani cahaya temaram obor, Rusmin dan Titin berdiri berdampingan. Mereka menghadap Haris dan Suryadi, sang penghulu, yang sesekali memanjatkan doa kepada Nining Bahtara. Mereka memohon agar pernikahan berlangsung aman, damai dan sejahtera.

Setelah berdoa, Haris menaburkan beras kuning ke arah kedua mempelai. Itu simbol bahwa kedua mempelai sudah sah menjadi suami istri. Rusmin dan Titin pun lega.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Januari hingga Maret, 7 Kebakaran di Balangan

Selasa, 26 Maret 2024 | 15:35 WIB

Warga HSU Dilarang Bagarakan Sahur Pakai Musik

Selasa, 26 Maret 2024 | 15:15 WIB

Wilayah Kalsel Rawan Diguncang Gempa

Selasa, 26 Maret 2024 | 13:45 WIB
X