Sekolah di Maroko, Terkesan dengan Tradisi Setempat

- Minggu, 12 Mei 2019 | 13:30 WIB

KH H Said Masrawan Lc MA hanya mengabdi 4 tahun di Ponpes Rakha sebagai guru. Dia  terpilih melanjutkan S2 setelah lulus beasiswa luar negeri dari Kementerian Agama Republik Indonesia di tahun 2001. Tujuannya Maroko.

===================== 

Kerinduan untuk menempuh pendidikan ke luar negeri kembali dirasakan dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Rakha Amuntai ini. Setelah menyelesaikan studi di Kota Kairo Mesir dengan masa hanya empat tahun, Said kembali terpilih ikut dalam beasiswa calon dosen (cados).

Magister aqidah ini, terpilih dari 10 titik lokasi ujian secara nasional yang digelar oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Di tahun itu, Said terpilih bersama dengan 49 orang lainnya melanjutkan studi ke negara Arab dan Afrika.

"Alhamdulillah setelah terpilih kami diberikan pembekalan saat itu di IAIN atau UIN Syarif Hidayatullah di Jakarta. Disini cados yang lulus tidak bisa memilih ataupun mundur. Harus menerima tujuan universitas yang ditentukan pemerintah saat itu," kenangannya.

Saat itu Said dan ketujuh rekannya terpilih ke Negara Maroko, enam ke negara Tunisia, enam ke Aljazair dan puluhan lainnya ke Kairo Mesir. Dan sisanya lagi menuju universitas yang ada di Yordania, Suriah   dan Sudan.

Saat itu, ASN Kementerian Agama Hulu Sungai Utara ini masuk ke Universitas Al-Qarawiyyin  yang disebut-sebut universitas pertama di dunia  yang ada sejak  tahun 859. Kampus ini menjadi perpaduan ilmu pengetahuan Arab dan Eropa. Universitas Al-Qarawiyyin  menjadi salah satu pusat spiritual dan pendidikan terkemuka dari dunia Muslim."Saya masuk ke Fakultas Ushuluddin dengan jurusan Aqidah Filsafat. Alhamdulilah selesai S2 dalam kurun waktu 1 tahun 10 bulan," ungkapnya. 

Sebagai mahasiswa, dirinya juga merasakan suasana Ramadan di negeri orang. Dia menceritakan, di Maroko   sebelum masuk hari puasa, masyarakat saling mengucapkan selamat berpuasa. “Yang unik berpelukan, pria dengan pria, wanita dengan wanita, memberikan pelukan menyambut Ramadan," kenangnya.

Salat Tarawih di Maroko hanya satu variasi tak sebanyak di Mesir di mana semua aliran dan mazhab berkumpul. Sebab terangnya, Maroko memegang Mazhab Maliki. Pelantunan Alquran menggunakan Qiraat Warsh bukan Qiraat Hafs yang seperti dilafalkan di banyak negara termasuk Indonesia.

"Pelantunan sedikit berbeda namun huruf dan makna sama. Ini hebatnya kitab suci Al-quran selalu terjaga kemurnianya oleh Allah SWT. Bahkan di Musabaqah Tilawatil Quran juga ada kelas Qiraat termasuk Qiraat Warsy atau Warsh seperti di Maroko," ungkapnya.

Sementara untuk makanan buka puasa khas Negeri Maghribi (Arab yang berada di ujung Barat, red) adalah  makanan bernama Harirah. Ini sejenis bubur atau kolak  dari kacang Arab, ditambah protein dari cincangan daging domba.

"Alhamdulillah tetangga apartemen yang disewakan oleh pemerintah, sering memberikan makanan tersebut, bahkan warga Maroko senang berbagi makanan khas kepada mahasiswa seperti kami saat itu. Sebab mereka menilai Ramadan bulan saling berbagi," paparnya.

Ulama yang lebih suka menunggang sepeda motor bebek ini, juga menceritakan Lokasi kuliahnya sangat dekat dengan Andalusia, Spanyol, dimana peradaban Islam sempat berjaya. Sampai saat ini, wajah di dua negeri yang berdekatan ini perpaduan Arab dan Eropa karena  persentuhan dua kebudayaan antara Arab dan Eropa yang hanya terpisah selat Gibraltar.

"Saya bercerita bukan maksud untuk bangga. Namun ini bisa menjadi edukasi dan mengenal budaya Islam khususnya di Mesir dan Maroko. Dan Mudahan bisa menginspirasi santri Banua untuk keluar mencari ilmu agama dan dunia," tutup KH Said yang kembali mendapatkan tamu untuk Syuting kegiatan Ramadan di HSU. (habis) (mar/ema)

Editor: berry-Beri Mardiansyah

Tags

Rekomendasi

Terkini

Rem Blong, Truk Solar Hantam Dua Rumah Warga

Kamis, 28 Maret 2024 | 19:00 WIB

Masalah Pendidikan Jadi Sorotan Ombudsman

Kamis, 28 Maret 2024 | 16:50 WIB

Gempa 3,3 Magnitudo Guncang Kotabaru

Kamis, 28 Maret 2024 | 15:58 WIB
X