Sempat Jualan Minyak Harum Supaya Bisa Beli Kitab

- Sabtu, 1 Juni 2019 | 12:25 WIB

Lahir dari keluarga sederhana, KH M Fadli Muis harus berjuang untuk menuntut ilmu di Pesantren Darussalam Martapura. Tempat yang jauh dari tanah kelahirannya di Tanjung Batu, Kelumpang Tengah, Kabupaten Kotabaru.

--- Oleh: Karyono, Batulicin ---

SOSOK KH M Fadli Muis memang sangat familiar di Kabupaten Tanbu. Beliau adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Tanbu yang juga pendiri Pondok Pesantren Zaadul Muttaqiin yang terletak di Desa Sarigadung Kecamatan Simpang Empat.

Sosoknya bersahaja dan dikenal ramah kepada setiap orang. Tutur katanya sangat santun, menghormati yang lebih tua dan menyayangi kepada yang lebih muda.

Semasa kecil, Guru Fadli-begitu biasa disapa-tinggal di sebuah kampung yang terletak di Desa Tanjung Batu, Kelumpang Tengah, Kabupaten Kotabaru. Mengawali pendidikan di sekolah dasar kampung kelahirannya, ia dikenal sebagai anak pandai, selalu menjadi juara kelas. Begitu pula ketika di Madrasah Tsanawiyah, ulama kelahiran Tanjung Batu, Kotabaru 24 April 1969 ini selalu ranking.

Melihat prestasinya, seorang kerabat orang tua Guru Fadli memintanya untuk masuk sekolah umum, supaya kelak menjadi seorang insinyur. “Kebetulan beliau memiliki usaha tambak ikan,” kenang Guru Fadli kepada Radar Banjarmasin, Kamis (31/5) sore.

Namun, permintaan itu ditolak orang tua Guru Fadli yang menginginkan anaknya mendalami ilmu agama. Apalagi melihat kebiasaan Guru Fadli yang banyak menghabiskan waktu di musala di samping rumah. Bahkan, ketika usianya 15 tahun, ia sudah sering memimpin salat tarawih.

“Ayah memang berkomitmen menyekolahkan anaknya di sekolah agama saja. Ujar beliau ‘untuk bekal saya mati nanti. Kalau sekolah umum, kelak kalau sudah kerja dan menerima gaji yang enak dia sama istrinya saja, sedangkan saya tidak. Sementara kalau sekolah agama, anak saya menjadi alim, saya bisa mendapatkan pahalanya’. Memang dorongan orang tua itu sangat luar biasa,” ujar Guru Fadli.

Akhirnya, walaupun dengan kondisi ekonomi terbatas, Guru Fadli dikirim untuk menimba ilmu di Ponpes Darussalam Martapura pada bulan Juli tahun 1985. Bukan jarak yang dekat, saat ini saja, menurut Google map jarak Tanjung Batu – Martapura nyaris 400 kilometer jika melewati Tanbu, Tala dan Banjarbaru dengan waktu tempuh 10 jam.

Sedangkan ketika itu, Guru Fadli harus menempuh perjalan melewati laut, sehari semalam naik kapal.

“Sebenarnya sangat berat meninggalkan orang tua di rumah, namun karena ingin menimba ilmu agama, akhirnya saya berangkat juga,” terangnya.

Jauhnya jarak, membuat ia baru bisa pulang kampung setahun sekali. Komunikasi dengan keluarga juga sangat terbatas, belum ada telepon. Pilihan melewati surat, atau kalau ada keperluan mendesak, dengan telegram.

“Orang tua kirim uang sebulan sekali, itu pun bisa salah alamat, karena nama M Fadli Muis ada 3 orang waktu itu. Jadi pernah satu bulan tidak dapat kiriman, karena dikira punya kawan yang sama namanya,” kenangnya.

Sadar dengan kondisi orang tua yang pas-pasan, Guru Fadli berusaha mandiri dengan berjualan minyak wangi. “Kalau pulang kampung, saya diberi uang lebih oleh keluarga ayah. Uang tersebut saya belikan minyak harum (wangi, Red), kemudian dijual kembali kepada teman di ponpes. Hasilnya untuk membeli kitab,” ceritanya.

Ia juga harus menyesuaikan diri dengan metode pembelajaran di pesantren, tanpa mata pelajaran umum satupun. “Agak kaget juga, perlu dua tahun untuk menyesuaikan diri, sehingga bisa mendalami kitab-kitab yang diajarkan di Darussalam,” ungkapnya.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pertanyakan Konsistensi Dinas PUPR

Selasa, 23 April 2024 | 08:45 WIB

Kebakaran, Duit Sisa THR Ikut Hangus

Sabtu, 20 April 2024 | 09:15 WIB
X