Kebijakan Perekaman Sidik Jari BPJS: Pasien dan RS Menolak

- Sabtu, 22 Juni 2019 | 08:22 WIB

BANJARMASIN – Kursi roda terus didorong Mahli menuju ruang rawat inap di RSUD Ulin Banjarmasin kemarin. Ayahnya hanya terduduk lesu menahan sakit yang dideritanya. Sudah empat bulan sang ayah menderita kencing manis.

Berusia uzur, sang ayah susah berjalan. Harus dibantu kursi roda. Mahli pun harus senantiasa mendampingi sang ayah. Tak hanya melakukan proses administrasi, juga ketika mengantar ke ruang perawatan. “Beliau tak bisa sendiri. Saya pun harus mendampingi,” tuturnya kemarin.

Mendapat informasi pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan harus didata dulu dengan fingerprint (sidik jari). Mahli menginginkan pasien-pasien seperti ayahnya mendapat fasilitas utama ketika diberlakukan kebijakan baru ini. “Lihat saja. Berjalan saja susah,” tukasnya.

Dia tak bisa membayangkan, jika kebijakan ini diberlakukan secara spontan, khususnya kepada pasien lansia dan sakit berat. “Ini malah merepotkan,” imbuhnya.

Di sisi lain, Mahli menyebut kebijakan ini membawa dampak yang bagus soal administrasi. Di mana pasien tak lagi direpotkan membawa berkas, dengan catatan database pasien sudah ada. “Yang repot ketika data pasien tak tersedia. Belum lagi alatnya sedang bermasalah,” katanya.

Hal yang sama dituturkan Nasmiah, orangtuanya yang sedang menderita strok membuat kesulitan dilakukan perekaman data. “Saya berharap pihak rumah sakit mendatangi. Jangan sampai pasien yang malah mendatangi,” harapnya.

Dia tak ingin, kebijakan baru ini malah merepotkan kepada pasien yang kondisinya tak memungkinkan. “Saya takutnya, hanya gara-gara tak direkam malah diminta biaya,” ucap Nasmiah.

Sementara itu, di Banjarbaru, rencana BPJS Kesehatan mewajibkan pasien melakukan rekam sidik mendapat penolakan dari pihak pasien dan rumah sakit.

Seperti yang diutarakan Fahri, salah seorang peserta BPJS yang sedang memeriksakan matanya di Poli Mata, RSD Idaman Banjarbaru, kemarin. Dia mengaku tidak setuju, apabila pasien di poli RS diwajibkan merekam sidik jari. "Takutnya, aturan baru itu malah tambah bikin repot Mas," katanya.

Aturan yang sekarang saja, dia menyebut antrean di poli selalu panjang. Apalagi dengan adanya tambahan kewajiban rekam sidik jari. "Sudah urus dokumen, ditambah rekam lagi. Pasti panjang nanti antreannya," bebernya.

Hal senada disampaikan, Syaukani, warga Banjarbaru yang sedang mengantarkan ayahnya di Poli Mata. Dia ingin, BPJS membatalkan aturan wajib rekam sidik jari. "Takutnya nanti alat fingerprint-nya rusak, sementara antrean sudah panjang. Pasti semua bakal repot," ucapnya.

Kekhawatiran yang sama diutarakan Kasi Pelayanan Medik RSD Idaman, dr Siti. Dia menjelaskan, selama alat rekam sidik jari tidak bermasalah semuanya akan aman. Namun, jika terjadi trouble pasti akan menyusahkan pasien. "Kasihan pasien bolak-balik ke RS hanya karena alatnya rusak," jelasnya.

Dia mengungkapkan, sejumlah rumah sakit saat ini masih menolak kebijakan baru dari BPJS tersebut. Lantaran, dianggap merepotkan rumah sakit. "Repot Mas, karena rumah sakit yang disuruh membeli alatnya," ungkapnya.

Ditambahkannya, penolakan rumah sakit sendiri sudah disampaikan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) beberapa waktu yang lalu. "Penerapan figerprint 'kan untuk keperluan dan kepentingan kepesertaan. Bukan keperluan pelayanan. Jadi, semestinya pengadaan jadi tanggungjawab BPJS," tambahnya.

Secara terpisah, Wakil DPRD Banjarbaru, Wartono meminta, sebelum menerapkan kebijakan baru. Ada baiknya BPJS melihat dulu, bagaimana manfaatnya untuk masyarakat. "Kalau bisa untuk memangkas persyaratan fotokopi dan dokumen lainnya, termasuk penyalahgunaan peserta saya rasa baik saja. Tapi di lapangan jangan malah menambah permasalahan baru," pintanya.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X