GAMBUT TAK DIJUAL..! Kecuali Harganya Cocok

- Senin, 24 Juni 2019 | 09:07 WIB

Gambut pernah menjadi lumbung padi yang menyangga kebutuhan pangan Kalimantan Selatan. Namun itu lampau. Saat ini, petani bisa dengan mudah menjual tanah mereka. Sekali lagi asalkan harganya cocok.

---

Matahari cukup terik siang itu. Seorang wanita berusia 40-an sedang sibuk menyingkirkan rumput liar dari sela-sela padi yang baru ditanamnya. Dia segera menoleh ke Radar Banjarmasin yang sedari tadi memperhatikan.

“Lahan ini tidak dijual, Pak,” ucapnya seperti heran melihat seorang berpakaian necis dengan kemeja, celana kain dan sepatu berdiri di pematang sawah yang saat itu sedang terendam air setinggi lutut.

Bini Mahdi, dia memperkenalkan namanya, mengatakan sawah itu adalah peninggalan orang tuanya. “Masih mau dipakai buat bertani,” ucap warga Handil Durian Desa Kayu Bawang Kecamatan Gambut itu.

Diapit perumahan di samping kiri dan kanan, lenyapnya sawah di sana seperti hanya tinggal masalah waktu. Dalam lima tahun terakhir, alih fungsi lahan dari pertanian ke perumahan marak terjadi di sepanjang Jalan Irigasi Kecamatan Gambut, termasuk di Desa Malintang Baru, lokasi sawah yang digarap Bini Mahdi.

Bini Mahdi memang mengakui sampai saat ini belum ada niat untuk menjual lahan pertanian seluas 17 borongan itu. Selain menjadi warisan, lahan itu juga miliknya bersama empat saudaranya yang lain tersebut. “Kecuali tawaran harganya tinggi, kemungkinan akan kami lepas,” tandasnya malu-malu.

Bini Mahdi memang realistis. Melihat bagaimana perumahan menggerus wilayah pertanian di sana, dia tidak melihat peluang sebagai petani lagi. Keberadaan perumahan di sekitar sawahnya memberi dampak negatif terhadap siklus tanam dan tumbuh kembang padi.

Sudah bertani semenjak 25 tahun lalu, Bini Mahdi merasakan bagaimana kondisi lingkungan di sekitar sawah berpengaruh pada siklus tanam di lahan tadah hujan.

Biasanya musim tanam sudah masuk saat bulan Maret, namun dalam beberapa tahun terakhir, mulai bergeser. Saat ini dia baru bisa menanam padi di bulan Juni lantaran ketinggian air pada bulan Maret masih sepinggang orang dewasa.

Dulu, kata dia, saat memasuki bulan Maret air sudah surut, sekarang sampai bulan Juni air masih selutut orang dewasa. Tergolong masih tinggi untuk menanam anak padi. Tinggi air untuk menanam anak padi maksimal semata kaki.“Apa mungkin karena adanya perumahan ini ya sehingga air tidak mengalir?” dia bertanya-tanya.

Maraknya pembangunan industri properti berupa perumahan, diketahui Arsyad berlangsung sejak akhir tahun 2016 lalu. Saat itulah industri properti mulai menjamur. Masyarakat yang berada di dekat pembangunan perumahan khawatir hal ini berdampak pada pengairan di persawahan.

Air yang menggenangi area persawahan tidak lagi surut. Alias, hanya menggenangi kawasan itu-itu saja. Airnya dari hari ke hari menjadi semakin dalam.“Ini secara tidak langsung juga membuat masyarakat kesulitan untuk menanam padi,” tuntasnya.

Alih fungsi lahan yang tadinya subur dan produktif masih sedang berjalan di Gambut. Selama 5 tahun terakhir, areal bercocok tanam berkurang 567 hektare. Catatan Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Banjar. Tahun 2018, luasan lahan pertanian tersisa 8.452 hektare dari 9.019 hektare pada 2014 lalu.

Menyusutnya lahan pertanian karena Gambut secara wilayah memang menanggung beban sebagai penyangga dua kota: Banjarmasin dan Banjarbaru. Kondisi geografis itu membuat posisinya yang unik terancam oleh permukiman penduduk, pergudangan, perkantoran, perhotelan dan pusat perbelanjaan

Di Desa Kayu Bawang, Kelurahan Gambut, perkembangan properti juga begitu pesat. Rumah-rumah dengan tipe kecil menggantikan hamparan sawah. Sekretaris Desa (Sekdes) Kayu Bawang, Muhammad Arsyad, mengaku hanya bisa pasrah meski diakuinya perumahan membuat warga kesulitan menanam padi karena air tak surut-surut di sawah.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Banjarmasin Pulangkan 10 Orang Terlantar

Jumat, 26 April 2024 | 14:30 WIB
X