Pilih Bekerja atau Sekolah, Anak Muda Tinggalkan Pertanian

- Senin, 24 Juni 2019 | 11:11 WIB

Jadi petani memang bukan profesi favorit anak muda di Kecamatan Gambut. Generasi muda di Gambut memilih bekerja di luar sektor pertanian. Mereka tidak lagi mau mewarisi profesi orang tuanya. Bertani memerlukan modal, tenaga, alat, serta harus mengikuti musim tanam, dan harga gabah yang tak menentu. Padahal kebutuhan hidup sehari-hari bersifat pasti.

Para petani muda bahkan kesulitan menyeimbangkan kebutuhan hidupnya dengan penghasilan dari bertani.

“Menunggu musim tanam dan untuk menutupi biaya hidup sehari-hari, saya bekerja jadi tukang di perumahan atau buruh apa saja yang penting halal,” kata Ramlan, 35, warga Gambut Barat. Adanya pengembangan properti yang pesat membuat kebutuhan mereka akan pekerjaan bertemu mulus dengan permintaan.

Keberadaan industri properti layaknya perhotelan dan pusat perbelanjaan secara tidak langsung membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Lurah Kecamatan Gambut Barat, Hj Misbah, mengatakan, masyarakat yang tinggal di sekitar industri properti kerap ditawari pekerjaan. Misalnya menjadi penjaga keamanan.

“Setahu saya, tergantung dengan pendidikan terakhir yang disandang. Pada umumnya, perusahaan mengutamakan masyarakat di sekitar terlebih dahulu. Kalau jenjang pendidikan atau keahliannya tidak sesuai, baru perusahaan mencari pelamar yang lain,” ungkapnya.

Hal tersebut dibenarkan oleh Fahrurrazi, warga setempat. Sehari-hari, lelaki berumur 34 tahun itu bekerja sebagai wakar di salah satu pusat perbelanjaan di Gambut.“Perusahaan yang minta. Ya saya sanggupi saja. Sayang kalau ditolak,” ungkapnya.

Dia menuturkan sempat menjadi security di sebuah pusat perbelanjaan yang letaknya hanya beberapa meter dari tempat tinggalnya di Jalan Ahmad Yani, Kilometer 12. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena tidak betah dengan jam kerjanya.

“Kemudian, melamar lagi jadi wakar. Khusus malam hari dan diterima. Betah sampai sekarang,” ucapnya.

Sebelum menjadi satpam hingga wakar, Fahrurrazi, juga sempat mengikuti jejak sang ayah sebagai petani. Namun, profesi sebagai petani ditinggalkannya untuk pekerjaan barunya itu. Dia beralasan sawah orang tuanya juga sudah dijual sebagian karena kebutuhan hidup. Kini ayahnya hanya tinggal menggarap sawah sebatas untuk konsumsi saja, tidak untuk dijual.

Hal senada juga disampaikan oleh pemuda lainnya, Firmansyah. Dibandingkan turun ke sawah, dia lebih memilih untuk fokus menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Ayahnya memberi kelonggaran. Terlahir sebagai keluarga petani, tidak serta merta membuat sang ayah menyuruhnya untuk bertani.

“Ayah tidak pernah memaksa untuk harus ikut ke sawah. Justru sebaliknya, Ayah kerap menyuruh untuk fokus menamatkan pendidikan saja, kemudian mencari pekerjaan lain yang cocok,” tuntasnya

Meski punya empat anak, Bini Mahdi, warga Gambut lainnya enggan menyuruh anak-anaknya untuk membantunya di sawah. Ia memilih bertani hanya bersama suaminya yang bekerja sampingan sebagai seorang buruh bangunan.

Per borongan (17x17 meter persegi) lahan, produksi yang dihasilkan bisa sekitar 5 belek (per belek setara 15 kilogram) padi. Dari luasan 17 borongan lahan yang digarapnya, ia memperoleh 85 belek padi.

Untuk keperluan makan dalam setahun, kata Bini Mahdi, setidaknya diperlukan 40 belek padi. Sisanya bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Hasil dari bertani ini ya cukup lah untuk makan selama satu tahun sambil menunggu musim tanam selanjutnya. Dan masih ada sisa untuk dijual, membiayai sekolah anak-anak,” ungkapnya yang mementingkan anak-anak tetap bersekolah.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Harga TBS Turun di Setiap Kelompok Umur

Senin, 6 Mei 2024 | 14:22 WIB

Harga Kakao Berau Semakin “Manis”

Senin, 6 Mei 2024 | 12:48 WIB

BRI Buka Kantor Layanan Baru di Kampus Unmul

Jumat, 3 Mei 2024 | 14:36 WIB
X