Legalisasi Minuman Beralkohol, Pakar: Banjarmasin Bisa Tiru Malaysia

- Kamis, 18 Juli 2019 | 11:42 WIB

BANJARMASIN - Riuhnya perdebatan soal izin penjualan minuman beralkohol menarik perhatian Tomi Oktavianor. Dia pakar kebijakan publik dari Universitas Lambung Mangkurat.

Kepala Prodi Magister Administasi Bisnis itu coba memberikan pemahaman. "Ada dua pendekatan cara berpikir pembuat kebijakan. Pertama perlu melokalisasi, kedua tidak perlu melokalisasi," katanya.

Nah, Pemko Banjarmasin memilih untuk melokalisasi. Artinya membatasi penjualan minol. Seperti menentukan tempat mana saja yang boleh atau tidak menjual minol. Bahkan jam penjualan pun diatur.

"Melokalisasi minol ini sebenarnya sudah terjadi. Misalkan hanya boleh di diskotek dan karaoke dewasa," imbuhnya.

Anda kata pemko memilih yang kedua, bukan berarti publik boleh marah-marah. "Karena tidak melokalisasi juga merupakan sebuah kebijakan," ucap pria yang mengambil gelar doktor di Universitas Indonesia itu.

Tapi bukan itu inti masalahnya. Tomi menyebut, Banjarmasin adalah kota sensitif. Keberadaan minol jelas akan ditolak masyarakatnya. Sekalipun pada faktanya, diam-diam peminatnya juga banyak.

Artinya, apapun kebijakan yang ditempuh pemko terkait minol pasti bakal kontroversial. Apakah melokalisasi atau tidak, karena keduanya sama-sama dianggap pelegalan.

"Kalau dilokalisasi, masyarakat tetap beranggapan bahwa minol sudah legal. Apalagi kalau tidak dilokalisasi. Dampaknya bisa liar dan sulit dikontrol," tuturnya.

Pada bagian ini, Tomi tak mau memvonis benar atau salah. Apapun kebijakan yang dibuat, merupakan kewenangan pemko. Hanya saja, perlu pertimbangan matang ketika membuat perda. Karena mayoritas penduduk Banjarmasin adalah muslim.

"Jadi apapun bunyi peraturannya, selama masih ada peluang penjualan minol, pasti tetap akan bertentangan," sebutnya.

Namun Tomi sepakat, terhadap pilihan pemko yang melokalisasi peredaran minol. Setidaknya bisa mempersempit ruang peredarannya.

Jika mengacu Perda No 10 tahun 2017. Kota ini melegalkan penjualan minol di supermarket dan hypermarket. Payung hukumnya bertumpu pada Peraturan Menteri Perdagangan No 20 tahun 2014. Tapi ia punya saran untuk membuat regulasi tambahan. Bahwa pembatasan jangan cuma terfokus pada area peredaran, tapi juga pembeli.

Dia mengambil contoh Malaysia. Di sana minol dengan kadar tertentu boleh dijual di supermarket. Tapi disertai larangan membeli bagi muslim dan melayu. Kalau melanggar, bakal didenda.

"Regulasi ini sangat memungkinkan diterapkan di Banjarmasin. Tinggal dikaji, bagaimana penerapannya dan sanksi apa yang akan diberikan bagi pelanggarnya," paparnya. Tomi tentu tak asal ngomong. Dia sempat dua tahun berada di Malaysia untuk keperluan studi S2.

Saran lain, menurut Tomi, pemko maupun DPRD perlu duduk bareng. Mengajak para ulama, akademisi dan tokoh masyarakat untuk membicarakan soal minol. Guna menyamakan persepsi agar tak ada lagi selisih paham yang memicu polemik. (nur/fud/ema)

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X