Gratiskan Honor untuk Safrah Amal, Bila Tak Manggung Jualan Es Keliling

- Sabtu, 12 Oktober 2019 | 12:01 WIB

Banua kehilangan satu lagi seniman gaek yang konsisten di jalurnya, memopulerkan seni tradisi madihin Banjar yang dipadu dengan musik dangdut. Dia lah Karani alias Kai Jujuriring. Di hari kedua setelah kepergian sang seniman menghadap Ilahi, wartawan Radar Banjarmasin Muhammad Akbar mengunjungi kediamannya, di Danau Panggang, Hulu Sungai Utara.

-----------------------------

Kai Jujuliling atau Jujuriring adalah nama panggung Karani ketika tampil menghibur, bersama grup organ tunggal di acara atau hajatan yang mengundangnya.

Lelaki kelahiran Desa Danau Panggang Kecamatan Danau Panggang, HSU, 61 tahun silam ini, sangat mencintai seni tradisi madihin, ia juga penyuka musik yang sangat populer di tanah air, dangdut. Jadilah ia memadukan keduanya hingga menjadi genre khas tersendiri, Madihin Dangdut Banjar.

Dalam video klip-nya, Kai Jujuriring juga tak lupa mengangkat ciri khas daerahnya, Hulu Sungai Utara. Seperti dalam lagunya yang cukup viral, Sakit Lantuhut, diawali dengan penampilan maskot HSU, Kota Itik dan jembatan Paliwara.

Namun sekarang, ini semua telah menjadi warisan Karani bagi seni tradisi banua. Karena ia telah tiada. Pada Rabu, 9 Oktober 2019 sekitar pukul 21.30 Wita, ia mengalami kecelakaan tunggal sepeda motor di Desa Muning Kecamatan Daha Selatan Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS). Akibat insiden tersebut, Karani mengalami cedera di kepala dan akhirnya meninggal dunia.

Kabar duka pun berhamburan di jagat maya. Radar Banjarmasin pun kemarin menyambangi kediaman Karani di Desa Pandamaan, Kecamatan Danau Panggang. Terletak sekitar 30 kilometer dari Kota Amuntai.

Setelah beberapa kali bertanya kepada warga yang kebetulan selalu mengenalnya, akhirnya wartawan koran ini menemukan rumah Karani. Sebuah rumah panggung berukuran 6 x 9 meter, di tengah pemukiman padat penduduk dalam gang RT 1 RW 1, di pinggir Sungai Danau Panggang.

Dalam suasana yang masih berduka, Fahriati -istri Kai Jujuriring menerima wartawan koran ini. Matanya masih sembab, masih sering menangis mengenang sang suami yang dikenal kocak dan ramah. "Ini sudah rumah kami, apa adanya," sebut Acil Ati –demikian perempuan yang sudah mendampingi hidup Kai Jujuriring selama 27 tahun ini biasa disapa warga.

Di dinding ruang tamu rumah kayu tersebut, banyak foto-foto kenangan yang dipajang. Termasuk salah satunya poster Jaya Group, grup musik almarhum. Menariknya, disitu tertulis besar Kai Jujuliling, bukan Jujuriring seperti yang populer selama ini.

“Sebenarnya Kai memang ingin memakai nama panggung Kai Jujuliling,”ujar Acil Ati.

Jujuliling menurutnya diambil dari kata penjual keliling, karena ketika sedang tidak ada panggilan manggung, maka Karani tak sungkan untuk berjualan es potong keliling, demi tetap menafkahi keluarga.

Namun, belakangan nama Kai Jujuriring justru lebih dikenal, karena gaya joget Kai Jujuliling yang terlihat seperti orang jujuriring (sempoyongan).

Meski hidup sederhana, almarhum Karani dikenal suka membantu, suka berbagi dengan rekan sesama musisi atau biduan yang sedang menghadapi kesulitan.

"Jika ada teman nggak punya uang, Kai pasti membagi sebagian honornya. Meski sebenarnya kebutuhan Kai juga ada, tapi itulah beliau, memang sosial dan ramah sama semua orang, lucu dan tidak pernah marah," kenang Acil Ati.

Halaman:

Editor: berry-Beri Mardiansyah

Tags

Rekomendasi

Terkini

X