Berbincang dengan Kolektor Oeang Tempo Doeloe

- Senin, 14 Oktober 2019 | 12:25 WIB

Banting tulang siang dan malam demi Rupiah. Gali lubang lalu tutup lubang gara-gara Rupiah. Namun, apakah Anda mengetahui sejarah di balik Rupiah? Mari belajar dari koleksi Noim.

-- Oleh: SYARAFUDDIN, Banjarmasin --

MOLANA Mohamed Noim Ridwan Al Mayali hanya punya dua pakem penampilan. Ketika bepergian, Noim mengenakan celana kain tersetrika, kaus polo, topi baseball, dan sendal kulit.

Di rumahnya juga tak ada sepeda motor, apalagi mobil. Kemana-mana ia berjalan kaki atau naik ojek.

Lalu, ketika sedang bersantai di rumah atau berkeliling gang menemui tetangga, dia mengenakan sarung, kaus singlet, dan peci putih yang telah menguning.

Satu-satunya persamaan dari kedua penampilan itu yakni setangkai kacamata baca. Nah, saat berbincang bersama penulis, Kamis (10/10) pagi, dia tampil sebagai Noim dengan tampilan nomor dua.

Meski rambutnya sudah jarang dan beruban, Noim masih memelihara rambut gondrongnya. Sepintas pandang, dia tampak seperti fans Godbless yang tak mengenal Spotify.

Noim lahir tahun 1953 di Jalan Kuripan. Pada tahun 1989, dia pindah ke Jalan Manggis. Kata bergeser mungkin lebih tepat ketimbang berpindah. Karena kedua kawasan ini dekat saja, masih satu kecamatan di Banjarmasin Timur.

Lalu, apa istimewanya lelaki 66 tahun ini? Rahasianya ada pada tas kecil berwarna pink. Wadah menyimpan segepok duit kertas tempo doeloe. Koleksi yang merentang antara tahun 1947 sampai 1992.

Sebagian masih mulus. Rapi dan bersih. Layaknya uang baru. Sebagian lagi sudah agak kotor dan kumal. Jumlah koleksinya mungkin mendekati seratus lembar atau lebih. Noim tak pernah mau repot menghitungnya.

"Saya dulu sekolah di SD Garuda, Kampung Melayu. Sejak itulah saya mulai senang mengoleksi uang. Menyisihkan uang jajan atau mencarinya ke pasar," kenangnya.

Menurutnya, Rupiah bisa menggambarkan suasana negara pada masa dicetak. Desain Rupiah tak dibuat semata-mata karena ia keren. Ada pesan yang ingin disampaikan pemerintah kepada rakyatnya. Kasarnya, uang pun bisa menjadi alat propaganda.

"Perhatikan uang nominal 25 dan 50 Rupiah dari tahun 1964. Gambarnya kopral-kopral tentara. Saat itu Bung Karno memang sedang keranjingan mengganyang Malaysia," jelasnya.

Ditanya apa bedanya dengan Rupiah sekarang, Noim merasa desain lawas lebih nyeni. Contoh uang 1 Rupiah dari tahun 1956. Pada lembarannya tercetak foto potret gadis berhidung pesek nan cantik. "Lebih artistik," tegasnya.

Perbedaan lain adalah ukuran. Rupiah zaman dulu dicetak di kertas berukuran kecil. Mirip seperti uang pada permainan monopoli.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X