Madihin, Tradisi Tutur Sarat Pesan Moral, Penangkal Hoax dari Warisan Masa Lalu

- Rabu, 30 Oktober 2019 | 10:44 WIB

Amun pian handak mengkaji ilmu, jangan dadangaran tapi pian harus baguru. Kalau perlu pian membaca buku begamatan meitihi pian dahulu. Jangan memahami tanpa guru atawa teburu-buru. Akhirnya pian takacak habu, ilmunya hanya balalu. Informasinya kada valid, kada kawa diandak sebagai kutu buku.

-- Oleh: JAMALUDDIN, Banjarmasin --

Kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, syair di atas maknanya kurang lebih begini: Kalau ingin mengkaji ilmu jangan sekadar mendengar, tapi harus berguru. Kalau perlu membaca buku dan dipahami sedikit demi sedikit. Jangan memahami tanpa guru atau terburu-buru. Akhirnya bisa jadi malah memegang abu, ilmu berlalu, informasi tak valid dan tak bisa jadi kutu buku.

Ini potongan syair dari kesenian Madihin. Kesenian tutur ciri khas masyarakat Kalimantan Selatan. Syairnya sarat petuah. Kesenian ini juga sebagai media pengantar pesan moral bagi masyarakat Banjar.

Sejarahnya, Madihin merupakan sebuah genre puisi atau pantun yang dimainkan satu atau dua orang menggunakan alat bernama terbang atau rebana. Madihin sudah akrab dengan masyarakat Banjar setelah agama Islam berkembang.

Madihin merupakan bentuk hiburan Keraton Banjar pada masa lalu. Nama Madihin berasal dari kata “madah” artinya nasehat atau petuah yang dibuat dalam bentuk pantun atau puisi. Madihin dalam praktiknya menggunakan kata berakhiran aa-aa atau ab-ab.

Cara menyampaikan syairnya menggunakan lagu. Sehingga terdengar lebih merdu dan sejuk. Pemadihin (sebutan untuk pemain Madihin) dituntut pandai merangkai syair dalam waktu singkat.

Madihin telah berkembang seiring berjalan waktu. Mengikuti tuntutan zaman. Madihin mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Sekarang isi syair Madihin tak melulu petuah. Agar tidak kaku, kerap disisipi humor. Tentu petuah tetap mendominasi.

Artinya, Madihin bisa dinikmati berbagai lapisan masyarakat. Itulah mengapa Madihin masih bertahan hingga sekarang. Ya, di zaman serba digita tak membuat kesenian tutur ini ditinggalkan masyarakat Banjar.

“Madihin harus berubah agar bisa diterima seluruh kalangan. Apalagi saat ini Madihin mendapat tempat yang spesial. Dulu permainannya hanya di depan rumah. Sekarang bisa di acara-acara besar,” kata seniman Madihin Kalsel, Ahmad Sya’rani.

Pria dengan nama tenar Anang Sya’rani ini merupakan generasi kedua pengembang kesenian Madihin setelah almarhum Yusran Effendi atau yang dikenal dengan nama panggung John Tralala. Mereka berdua getol mempromosikan Madihin hingga kancah internasional.

Ini menjadi bukti bahwa, kesenian Madihin bukan hanya dinikmati dan diterima oleh masyarakat Banjar. Sekarang Madihin mampu memposisikan dirinya dengan kesenian-kesenian lain.

“Madihin bisa berkolaborasi dengan kesenian modern. Dulu dimainkan pemain tunggal. Sekarang bisa berdialog. Jadi pemain Madihin tidak hanya seorang. Ini bakal menambah kuat pesan-pesan yang ingin disampaikan,” Imbuhnya.

Sampai sini, Madihin ternyata memiliki peran penting dalam mengedukasi masyarakat. Termasuk dalam memahami berita di media sosial. Hasilnya, masyarakat akan lebih jeli dalam memilih dan memahami suatu informasi.

Ini mampu mencegah masyarakat agar tak terhasut informasi yang belum jelas asal-usulnya. Agar tak menimbulkan keresahan yang berujung pertikaian sesama warga. Kabar bohong bisa menjadi biang masalah, bahkan bikin geger.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Rem Blong, Truk Solar Hantam Dua Rumah Warga

Kamis, 28 Maret 2024 | 19:00 WIB

Masalah Pendidikan Jadi Sorotan Ombudsman

Kamis, 28 Maret 2024 | 16:50 WIB

Gempa 3,3 Magnitudo Guncang Kotabaru

Kamis, 28 Maret 2024 | 15:58 WIB
X