Dari Korban Sebuku: Rumah Boleh Lapuk, Kenangannya Tidak

- Kamis, 28 November 2019 | 11:45 WIB

Wajah nelayan tua itu tegas. Guratannya dalam. Hampir tidak terlihat kesedihan. Namun ketika ditanya perasannya, ia mengaku, kehilangan rumah sama dengan perasaan kehilangan mendadak orang tercinta.

-- Oleh: Zalyan Shodiqin Abdi, Sebuku --

Selasa (26/11) tengah malam di tenda pengungsian. Cuaca dingin. Walau tak ada angin berhembus. Anak-anak dan sebagian besar wanita sudah tidur di atas kasur yang dihampar di atas tanah. Beberapa pria tua masih merokok, berbincang-bincang.

Abu Bakar, menghembuskan kretek paling murah. Dia pria berusia hampir 60 tahun. Lahir dan tua di Sebuku. Pekerjaannya nelayan. Wajahnya tegas, khas nelayan berpengalaman yang kenyang menghadapi badai di laut. Di sebelahnya duduk Misran, juga nelayan. Misran rambutnya hampir putih semua.

"Saya tidak menangis. Tidak sama sekali. Tapi hati remuk di dalam. Melihat rumah habis dalam sekejap," kata Misran kepada penulis di dalam tenda.

Mendengar suara itu, Kamsiah istrinya bangun dari rebahannya. Ditatapnya wajah Misran dalam kegelapan. Kulit Misran gelap, namun sinar matanya terang.

Kata Misran, rumah dia dan istrinya itu dibangun sejak lama. Terbuat dari kayu. Rumah warisan orang tua. Sampai jelang terbakar, mereka tidak cukup uang menjadikan rumah lapuk itu jadi permanen.

Di sana lah anak-anak mereka lahir. Di rumah itu, ia dan cucunya biasa bercanda. "Rasanya kehilangan rumah itu seperti kehilangan keluarga kita mendadak. Misalnya ada keluarga kita sehat, tiba-tiba meninggal. Nah persis seperti itu rasanya," lirih Misran.

Abu Bakar, pria tua yang yang telah kehilangan istrinya itu, mendengar analogi Misran, diam-diam dalam kegelapan menyeka matanya dengan punggung tangan. Tak ada isak terdengar. Tapi jelas, ia menangis.

Hanya sebentar Abu Bakar larut. Sepersekian detik, ia kembali bisa menguasai diri. Sudah dua malam, mereka tidur di dalam tenda. Bagi Misran dan kawan-kawan seprofesi, tidur di alam terbuka tiada masalah sama-sekali.

Dingin dan panas itu makanan hidup mereka. Yang jadi masalah besar adalah mereka tidak bisa lagi bekerja. "Yang sempat saya selamatkan cuma segel rumah, TV dan sedikit baju," ungkap Misran.

Ia mengaku, tiap saat selalu berpikir, bagaimana caranya bisa bikin rumah lagi. "Tidak ada tabungan. Jangankan nabung, makan sehari-hari aja pas-pasan. Hasil melaut, cukup buat makan."

Ia bersyukur, di penampungan makan dan minum gratis. Tapi mau sampai kapan. "Mudahan benar pemerintah mau bantu rumah," lirih Abu Bakar.

Dari penelusuran penulis di lapangan, mayoritas warga yang rumahnya terbakar adalah mereka yang hidup di kelas ekonomi menengah ke bawah. Itu bisa dibuktikan dengan kumuhnya rumah mereka sebelum terbakar. Sebagian besar dari kayu, tidak sedikit yang berlubang-lubang.

"Yang kaya di tempat kami bisa dihitung pakai jari," kata Abu Bakar. (ran/ema)

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pertanyakan Konsistensi Dinas PUPR

Selasa, 23 April 2024 | 08:45 WIB

Kebakaran, Duit Sisa THR Ikut Hangus

Sabtu, 20 April 2024 | 09:15 WIB
X