Isu Deforestasi jadi Tantangan Pengusaha Sawit

- Sabtu, 7 Desember 2019 | 12:11 WIB

BANJARMASIN – Tak dapat dipungkiri, kontribusi sawit terhadap perekonomian nasional cukup positif. Berada nomor dua setelah pertambangan yang menjadi andalan ekspor Indonesia.

Dari data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), produktivitas perkebunan kelapa sawit Indonesia 2-4 ton per hektare per tahun. Jumlah tersebut pun dinilai masih jauh dari potensial produktivitasnya yang bisa mencapai 25 ton per hektare per tahun.

Tapi saat ini pun kegalauan menyelimuti Gapki. Pasalnya, kampanye hitam soal perkebunan sawit di negeri ini begitu membuat pihaknya terpukul. “Isu deforestasi atau tudingan merusak hutan dan melenyapkan habitat hewan dilindungi menjadikan sawit Indonesia susah bersaing dengan negara Malaysia,” ujarnya.

Padahal sebutnya, menurut Sekertaris Jenderal Gapki, Agam Fatcurrochman, tak pernah ada yang terbukti perusahaan sawit di Indonesia yang membakar lahan dan hutan dengan sengaja untuk perkebunan sawit.

“Kalau kebakaran clear tidak ada perusahan yang melakukan pembiaran. Untuk isu deforestasi ini tidak bisa dikatakan demikian. Sejauh ini sawit dikembangkan mayoritas di bekas kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang berupa semak belukar,” terang Agam disela Focus Group Discussion (FGD) perkebunan kelapa sawit berkelanjutan untuk membangun hutan lestari kemarin di Banjarbaru.

Dia menegaskan, setiap perusahan industri sawit di negeri ini harus diwajibkan memiliki area perlindungan konservasi, dan juga melakukan pengecekan karbon tinggi. “Sekarang sudah berhati-hati. Isu kampanye deforestasi sawit itu tidak benar adanya,” tegasnya.

Untuk diketahui, pada 19 September 2018 lalu Presiden RI Joko Widodo meneken moratorium izin perkebunan sawit yang berlaku selama tiga tahun. Moratorium itu tertuang dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.

Soal ini, Agam memiliki pandangan sendiri. Menurutnya, moratorium izin sawit memang diterapkan pemerintah, namun untuk masyarakat masih diperbolehkan. “Inpres tersebut malah memberi keleluasaan kepada masyarakat untuk memaksimalkan produktivitas lahan sawit mereka. Termasuk perusahaan, tak hanya fokus meluaskan lahan saja tapi meningkatkan pula produktivitas,” sebutnya.

Soal membangun hutan lestari, dia menambahkan, sejak awal para pengusaha memiliki kewajiban menjaga areanya. Salah satunya tak melakukan pembakaran lahan dan menjaga kawasan terdekat yang terbakar agar tak masuk ke area yang dimiliki. “Sekarang perusahaan sudah berhati-hati. Perusahaan juga diwajibkan memiliki area untuk perlindungan konservasi. Juga melakukan perlindungan terhadap area karbon tinggi,” tandasnya.

Di sisi lain, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalsel Suparmi menerangkan, perkebunan sawit di Kalsel selain menjadi penopang ekspor nasional. Juga menyerap tenaga kerja yang sangat signifikan, jumlahnya mencapai 59.435 orang. “Untuk diketahui, sektor perkebunan sawit Kalsel menjadi penyumbang pendapatan daerah nomor dua setelah pertambangan,” terang Suparmi.

Dipaparkannya, luas area kelapa sawit di Kalsel mencapai 424.932 hektare. Terdiri dari perusahaan besar swasta (PBS) seluas 313.643 hektare, perusahaan besar Negara (PBN) seluas 6.489 hektare dan sebanyak 104.800 hektare diusahakan oleh rakyat. Dengan total produksi 1.110.372 ton CPO.

Isu negatif soal sawit menurutnya harus dijawab oleh pengusaha sawit. Pemprov sebutnya akan mendorong agar sawit terus menjadi komoditas unggulan. Dia memberi contoh seperti terus mengupayakan penerapan ISPO untuk semua PBS/PBN, meningkatkan pembangunan industri hilir/turunan dari CPO. Di Kalsel sendiri, saat ini baru dua perusahaan memiliki industri minyak goreng yaitu PT. Minamas dan PT. Sinar Mas.

Pihaknya juga ingin perusahaan terus membangun kemitraan permanen minimal selama 10 tahun dengan petani/pekebunan swadaya, dan mendorong peningkatan produksi energi terbarukan dari kelapa sawit menjadi campuran biodiesel B20, B30, B50 bahkan B100.

Sementara Kadishut Kalsel, Hanif Faisol Nurofiq tak menampik, terjadinya kampanye hitam yang dihembuskan uni Eropa mengenai lahan sawit yang dikonversi dari lahan hutan. “Ini harus kita jawab. Memang banyak tantanganya,” ujarnya.

Dia menegaskan, justru dengan perkebunan sawit ini akan membangun lingkungan melalui lingkungan hutan. Yakni membuat aturan perkebunan sawit dengan parameternya, dengan hutan tetap lestari. “Ada areal Hutan tanaman industri (HTI) yang tidak mau berjalan karena minim pendanaan. Ini perlu dikombinasi dengan model bisnis sawit di kehutanan. Saat ini Perda tengah godok untuk memasukkan nilai-nilai kewajiban membangun lingkungan untuk pembangunan kehutanan,” terang Hanif. (mof/by/bin)

Editor: berry-Beri Mardiansyah

Tags

Rekomendasi

Terkini

Di Berau Beli Pertalite Kini Pakai QR Code

Sabtu, 20 April 2024 | 15:45 WIB

Kutai Timur Pasok Pisang Rebus ke Jepang

Sabtu, 20 April 2024 | 15:15 WIB

Pengusaha Kuliner Dilema, Harga Bapok Makin Naik

Sabtu, 20 April 2024 | 15:00 WIB

Transaksi SPKLU Naik Lima Kali Lipat

Jumat, 19 April 2024 | 10:45 WIB

Pusat Data Tingkatkan Permintaan Kawasan Industri

Jumat, 19 April 2024 | 09:55 WIB

Suzuki Indonesia Recall 448 Unit Jimny 3-Door

Jumat, 19 April 2024 | 08:49 WIB

Libur Idulfitri Dongkrak Kinerja Kafe-Restoran

Kamis, 18 April 2024 | 10:30 WIB
X