Romantisme Orang Kota, Tak Terbukti Apa-apa

- Rabu, 11 Desember 2019 | 12:57 WIB

Beberapa hari yang lalutepatnya Jum’at, 6 Desember 2019 kota Banjarmasin melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banjarmasin menggelar Kongres Bahasa Banjar seharian penuh. Jika dilihat dari tamu undangan atau dalam bahasa kongresnya menggunakan istilah peserta didominasi oleh seniman dan mahasiswa dari berbagai kampus yang ada di Banjarmasin.

-- Oleh: Novyandi SaputraDirektur Yayasan Palatar --

Sejak dari pagi hingga menjelang siang kegiatan hanya diisi hal-hal yang bersifat ceremonial mulai dari sambutn walikota yang berbahasa Banjar hingga pemberian hadiah seni untuk para penggiat seni Kota Banjarmasin. Namun saya kira bukan itu bagian penting pada acara ini.

Pada kegiatan yang lebih layak disebut dengan seminar tentang “penggunaan Bahasa Banjar pada media seni” ini menghadirkan tiga narasumber seperti empu kuriding Mukhlis Maman yang mayoritas membahas posisi Bahasa Banjar pada seni-seni tutur di Kalimantan Selatan, kemudian ada juga Jamal T Surayanata yang spesifik membahas tentang penggunaan Bahasa Banjar pada sastra Kontemporer dan populer.

Pada bagian terakhir ada Asrizal Noor penyair Riau yang berdiam di Jakarta yang Nampak kebingungan tentang apa yang harus disampaikan hingga dia hanya menyampaikan pengalaman kulturalnya bersinggungan dengan Bahasa-bahasa daerah yang digunakan oleh diaspora atau keturuan Indonesia di Eropa. Hal semacam ini terjadi saya kira karena ketidak mampuan panitia membaca apa tujuan atau visi utama pada kongres Bahasa Banjar ini tentu juga karena terkesan terburu-buru. 

 

Jamal pada satu sesi kemudian melemparkan pertanyaan, kurang lebihnya demikian “jika kongres ini tidak diadakan apakah Bahasa Banjar akan mati?” beberapa orang kemudian serentak menjawab dengan jawaban “TIDAK”.

Kemudian saya coba memberikan sedikit tanggapan, bagi saya kongres semacam ini hanya sebuah romantisme orang-orang yang rindu kampung halamannya, ketakutan hilangnya Bahasa Banjar hanya dirasakan oleh orang-orang Banjar di wilayah yang urban seperti di Banjarmasin.

Pada nyatanya di wilayah pinggiran atau di daerah pahuluan Bahasa Banjar tetap menjadi Bahasa utama dan digunakan bahkan dilingkungan institusi pemerintahan, sekolah dan pasar sekalipun.

Kemudian pada sisi lain muncul wacana untuk menyusun sistem pengejaan dan penulisan Bahasa Banjar ini juga tentu perlu dikawal dengan seksama. Pendekatan EYD Bahasa Indonesia dalam penyusunanya saya kira juga kurang tepat.

Tentu karena Bahasa Banjar pasti memiliki pola kebahasaan sendiri tanpa harus menggunakan landasan teori apapun sebagai pendekatan. Kita terkedang terlalu mudah melakukan pendekatan dengan ilmu lain padahal Bahasa Banjar sebagai sebuah subjek Bahasa pasti memiliki sistem, pola, bahkan konsep kebahasaan sendiri yang terletak dan belum terungkap dari dalam pemilik Bahasa itu sendiri.

Persoalan Bahasa Banjar diperkotaan ini menjadi bias dan seperti mewakili keadaan Bahasa Banjar dalam wilayah yang lebih luas. Jika demikian maka jelas ini adalah kegagalan institusi pemerintahan dalam membaca isu Bahasa Banjar pada wilayah budaya.

Maka kota Banjarmasin sebagai penyelenggara tidak menggiatkan majalah berbahasa Banjar, sehari berbahasa Banjar, sambutan-sambutan pimpinan daerah berbahasa banjar. Ini kemudian memunculkan sebuah pandangan, apa betul kegiatan-kegiatan semacam ini adalah sebuah upaya penguatan? Atau jangan-jangan ini adalah sebuah bukti bahwa budaya Banjar sedang mengalami gradasi kebudayaan.

Sesekali lihatlah di berbagai sekolah pada wilayah masing-masing terpampang jelas tulisan peninggalan orde baru yaitu tulisan “Ing Ngarso Suntolodo, I Mangun karso, Tut wuri handayani”. Tulisan itu tentu memiliki makna yang bagus sebagai sebuah harapan terhadap muridnya. Tetapi apakah tidak ada padanan Bahasa tersebut pada bahas Banjar? Karena tulisan itu juga tidak ada yang dimengerti anak sekolahan selain sebagai pajangan slogan. Misal ganti dengan “Kayuh baimbai, Saijaan, sapamandiran”. Itu contoh dalam konteks yang sangat kecil.

Gerakan nyata berbahasa Banjar semacam ini yang lebih penting, daripada sekedar membicarakan sesuatu yang sebenarnya tidak memiliki urgensi apa-apa selain daripada persoalan romantisme kebahasaan belaka.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Rem Blong, Truk Solar Hantam Dua Rumah Warga

Kamis, 28 Maret 2024 | 19:00 WIB

Masalah Pendidikan Jadi Sorotan Ombudsman

Kamis, 28 Maret 2024 | 16:50 WIB

Gempa 3,3 Magnitudo Guncang Kotabaru

Kamis, 28 Maret 2024 | 15:58 WIB

Januari hingga Maret, 7 Kebakaran di Balangan

Selasa, 26 Maret 2024 | 15:35 WIB
X