Bisnis Politik

- Minggu, 15 Desember 2019 | 12:00 WIB

Ekspansi para pemilik modal dalam pilkada menggambarkan bagaimana dunia bisnis bekerja dengan sangat malas di Kalsel. Para superkaya yang tidak punya gairah kepada komoditas lain pasca meredupnya kayu, batubara dan sawit, menemukan politik sebagai bisnis baru tempat mengakumulasi modal dengan cepat, relatif minim risiko, mengasyikkan, dan tentu saja menguntungkan.

Rumusnya sederhana saja: uang menghasilkan kekuasaan dan kekuasaan menghasilkan uang yang lebih banyak. Hitung-hitungan ini membuat iklim politik di Kalsel semakin ke sini semakin berbau bisnis, ketimbang politik.

Di masa lalu hal semacam ini gak mudah terjadi. Orang-orang bisnis mungkin terlibat perselingkuhan klasik dengan para penguasa. Tapi itu semata untuk mengamankan bisnis mereka. Di masa kini, politik adalah bisnis itu sendiri.

Dalam kelindan yang membingungkan, budaya politik baru akhirnya terbentuk: pengusaha menjadi politisi-atau setidaknya mengambil alih kursi ketua parpol. Para haji-haji superkaya yang sudah cukup tua, menitipkan harapan mereka ke saudara, anak dan menantu, sebagaimana yang terjadi dalam sebuah tradisi konglomerasi.

Anak-anak mereka kini jadi ketua dewan, ketua parpol atau bakal calon yang akan bersaing melawan para politisi tulen. Sementara para pengusaha semenjana cukup puas dengan menitip prospek menjadi tim sukses.

Fenomena ini bukan saja menggambarkan bagaimana perubahan budaya politik di Kalsel tetapi juga mengindikasikan mandeknya iklim kreatif yang membuat para pengusaha banua bisa mengembangkan haluan bisnis mereka bertahan dari masa ke masa.

Para superkaya di Kalsel yang kita kenal sekarang adalah orang yang menikmati masa kejayaan kayu dan batubara tahun 80 sampai awal tahun 2000-an. Setelah era ini, banua mendadak begitu pelit melahirkan orang kaya-orang kaya baru.

Krisis finansial global membuat pola investasi berubah. Para haji-haji yang pernah berjaya dengan cara berbisnis tradisional (keruk-jual) tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memindahkan investasi mereka ke bidang usaha baru apalagi melantaikannya di bursa saham. Tidak ada Ferry Undardi, Ahmad Zaky atau Nadiem Makarim di banua.

Memang dulu pernah ada H Lihan yang mencoba menjadi kaya dengan memainkan semacam investasi kreatif, tetapi ternyata pengetahuannya tentang bisnis global nampaknya sebatas pada memalsukan obligasi serta kertas pembebasan pajak. Dia bukan saja gagal menjadi orang kaya, tetapi berakhir dengan menyedihkan di lantai penjara.

Satu nama yang paling menjulang mungkin hanya Haji Isam. Dia bisa terlepas dari jebakan bisnis tradisional dari industri ekstraktif karena dengan cepat bisa memainkan uangnya ke bidang-bidang yang lain, yang lebih modern. Tentu saja, core bisnisnya masih batubara, tetapi dia juga menaruh telur ke keranjang yang lain: penyewaan, perkapalan, penerbangan, metal, dan entah apa lagi.

Dari sini, Haji Isam bisa menjadi semacam pengusaha yang mengatasi politik. Dia tidak perlu bermain politik secara langsung, tidak mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, DPR atau semacamnya, tetapi lebih memilih mengontrol permainan dari belakang layar. Dari sudut ini, kita bisa memuji Haji Isam karena harus diakui, dia konsisten dengan profesinya.

“Politisi datang dan pergi, tetapi para pengusaha akan selalu ada di gedung pemerintah,” demikian ujar-ujar populer para aktivis di Brasil. Di Kalsel, kita kehilangan relevansi dari adagium ini. Yang benar saat ini adalah: para pengusaha adalah pemerintah, dan mereka sepertinya tidak akan pergi-pergi.”(*/ema)

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pertanyakan Konsistensi Dinas PUPR

Selasa, 23 April 2024 | 08:45 WIB

Kebakaran, Duit Sisa THR Ikut Hangus

Sabtu, 20 April 2024 | 09:15 WIB
X