Obat Eceran Dianggap FIB Meresahkan

- Sabtu, 4 Januari 2020 | 09:19 WIB
DIANGGAP MERESAHKAN: Banyaknya ritel menyediakan obat eceran dinilai FIB meresahkan.
DIANGGAP MERESAHKAN: Banyaknya ritel menyediakan obat eceran dinilai FIB meresahkan.

BANJARMASIN - Bebasnya penjualan obat di minimarket, warung kelontongan dan gerobak rombong, tanpa ada sarana kefarmasian mendapat sorotan dari Farmasis Indonesia Bersatu (FIB).

Dewan Presidium Nasional FIB, Hasan Ismail mengatakan telah mengeluarkan petisi pada tanggal 30 Desember 2019 lalu. Judulnya, 'Kemenkes dan BPOM, Mohon Tertibkan Peredaran Obat di Luar Sarana Kefarmasian'.

Dijelaskannya, petisi dibuat dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Hingga bisa mewujudkan Indonesia Sehat 2025. Mudahnya membeli obat, dinilai FIB tak membantu, malah menambah ancaman kesehatan di Indonesia.

"Salah satu ancaman kesehatan di masyarakat adalah peredaran obat yang tak terkendali. Seperti yang terjadi saat ini," ucapnya kemarin (3/1) ditemui di salah satu cafe di Banjarmasin.

Meski sekarang jaminan kesehatan mulai berfungsi dengan baik, seperti BPJS Kesehatan. Tapi masih ada ancaman penyakit ringan seperti batuk, demam, dan sakit perut. Yang belum tentu membuat warga mau berkonsultasi ke dokter, apalagi sampai menebus resep obat.

Inilah yang membuat sebagian besar masyarakat memilih mengobati dirinya sendiri. Jumlahnya bahkan meningkat. Disebutkannya, dari data Riskesdas 2013, 64,8 persen masyarakat menyimpan obat untuk dirinya sendiri.

"Pertanyaannya, siapa yang membantu dan memonitor masyarakat dalam swamedikasi? Dari manakah masyarakat memperoleh obat?" tanya Hasan.

Jawaban paling mudah, adalah penjualan obat-obatan di luar sarana kefarmasian sudah amat memprihatinkan. "Tak hanya di toko obat, apotek, puskesmas atau rumah sakit. Sekarang mudah dibeli di minimarket. Bahkan di warung-warung kecil. Yang menjualnya tak sedikit pun memahami ilmu kefarmasian," tambahnya.

Yang dijual terkategori obat bebas dan obat bebas terbatas. Hampir semua orang bisa melayani dan mendistribusikan obat tanpa perlu mengacu pada standar ilmu, kompetensi, profesi, etika atau moral kefarmasian.

Jika mengacu pada regulasi yang ada, obat bebas dan bebas terbatas hanya apoteker dan TTK yang boleh melayani atau menjualnya di apotek dan toko obat berizin. Tidak dijual sembarangan. Yakni sesuai sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No 1.331 Tahun 2002 tentang peredaran eceran obat.

Pada Pasal 108 Ayat 1 UU No 36 Tahun 2009 berbunyi, praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Nyatanya, banyak warung dan minimarket bebas menjualnya. Mereka bebas langsung menjual obat ke pasien meski mereka tak punya sarana dan tenaga kefarmasian. Salah satu risikonya adalah pemberian antibiotik yang tidak rasional. Hingga bisa meningkatkan resistensi antibiotik di masyarakat," jelas Hasan.

Wartawan Radar Banjarmasin kemudian coba membeli obat di kios kecil di Jalan Kuin Selatan, Banjarmasin Barat. Hanya dengan mengaku sedang sakit kepala, pedagang dengan lancar menawarkan berbagai merek.

Saat ditanya apakah punya pengetahuan kefarmasian, si pedagang hanya menghafal kebiasaan pembeli. Dari keluhan penyakit dan obat yang biasanya dicari. "Ada juga sih dari melihat iklan televisi," ujarnya. (hid/at/fud)

Editor: berry-Beri Mardiansyah

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kebakaran, Duit Sisa THR Ikut Hangus

Sabtu, 20 April 2024 | 09:15 WIB
X