Aruh Basambu di Desa Kiyu: Pendakian Ditutup Sementara, Melanggar Dikenai Denda

- Selasa, 25 Februari 2020 | 10:56 WIB
PENGHULU ADAT: Balian (memakai penutup kepala) duduk di samping sesaji, sebelum dimulainya ritual. | FOTO: WAHYU RAMADHAN/RADAR BANJARMASIN
PENGHULU ADAT: Balian (memakai penutup kepala) duduk di samping sesaji, sebelum dimulainya ritual. | FOTO: WAHYU RAMADHAN/RADAR BANJARMASIN

Doa dilantunkan beriringan gemerincing hiang, beradu dengan tabuhan gendang dan kalimpat. Semakin malam, semakin nyaring bunyi yang dihasilkan. Mengharap hama dan wabah penyakit tak menyerang tanaman padi, hingga keselamatan penduduk. 

-- Oleh: WAHYU RAMADHAN, Barabai --

Di Hunjur Meratus Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), tanaman padi mulai tumbuh. Tampak tinggi dan menghijau di lereng-lereng perbukitan, dan di tanah lapang. Tinggal menunggu waktu, padi yang ditanam berbuah. Menguning, dan siap untuk dipanen.

Sementara itu, jauh dari keramaian. Di Balai Adat Desa Kiyu, yang berjarak sekira lebih dari 46 kilometer dari Barabai, jantung Kabupaten HST. Sejak Minggu (23/2) pagi yang dingin, seluruh warga menyibukkan diri dalam gelaran ritual adat Aruh Basambu. Atau, ritual adat menolak bala.

Aruh Basambu umumnya hanya digelar ketika padi yang ditanam tampak tumbuh. Harapannya, agar padi tidak diserang oleh hama penyakit, hingga menghasilkan panen yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

“Ritual ini juga ditujukan untuk keselamatan penduduk. Prosesinya hanya berlangsung selama sehari,” tutur Maribut, Balian atau tokoh adat di Desa Kiyu.

Ada lebih 20 umbung atau kepala keluarga, yang berhajat dalam prosesi Aruh Basambu yang digelar. Masing-masing kepala keluarga menyumbangkan sejumlah dana. Nominalnya beragam. Mulai dari puluhan hingga ratusan ribu. Tidak ada patokan terkait nominal dana yang disumbangkan. Semuanya sukarela.

Pelaksanaannya digelar di dua tempat. Sebelum dipusatkan di Balai Adat, pelaksanaan Aruh Basambu digelar di ladang masing-masing. Doa berisi harapan dilantunkan oleh Balian, ditutup dengan acara makan bersama di saung. Yang menjadi tempat warga beristrirahat ketika bekerja di ladang.

“Ayo dinikmati. Jangan sungkan-sungkan. Makan yang banyak,” ucap pemilik saung, Irmuniah.

Menu siang itu, sepiring nasi putih dan ayam kuah santan. Isiannya, ada labu kuning, kacang panjang dan timun. Jangan tanya rasanya. Tentu saja enak. Kuah santannya kental, labu kuningnya lumer di mulut. Dan segelas air putih es menambah lengkap nikmatnya makan siang kami.

Seusai di ladang, warga bergeser untuk persiapan puncak Aruh Basambu di Balai Adat. Kaum laki-laki mau pun perempuan bahu membahu menyiapkan segala sesuatunya. Mulai dari menyediakan kayu bakar, memasak nasi, sayur, ikan hingga membuat kue di wajan-wajan berukuran besar. Sementara bocah-bocah yang tampak ramai meriung di sekitar Balai Adat, lebih banyak bermain sembari cekikikan.

Memasuki malam, seorang warga, melalui pengeras suara, memanggil-manggil warga lainnya untuk memasuki Balai Adat. Di dalam balai, tepat di tengah-tengah ruangan, kini sudah terhampar berpiring-piring makanan dan kue yang sebelumnya dimasak oleh warga.

Ya, jamuan makan, bincang-bincang antar warga dan tamu hingga kerabat dari berbagai daerah pun menjadi pembuka, dalam pelaksanaan puncak Aruh Basambu.

Malam semakin merayap. Piring-piring yang semula berisi hidangan makanan pun disingkirkan. Berganti dengan sesajen serta pernak pernik ritual yang diletakkan warga di tengah-tengah balai. Mulai dari sejumlah dedaunan, buntelan kain, kue dodol, bakul berisi kelapa, gula, beras, ketan, dan lain-lain.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kebakaran, Duit Sisa THR Ikut Hangus

Sabtu, 20 April 2024 | 09:15 WIB
X