Melihat Keefektifan Kampanye Social Distancing di Masyarakat Banua

- Minggu, 29 Maret 2020 | 10:55 WIB
JANGAN DUDUK DI TANDA X: Antrean di RSD Idaman Banjarbaru diberi jarak untuk mengantisipasi penularan Covid-19. | FOTO: SUTRISNO/RADAR BANJARMASIN
JANGAN DUDUK DI TANDA X: Antrean di RSD Idaman Banjarbaru diberi jarak untuk mengantisipasi penularan Covid-19. | FOTO: SUTRISNO/RADAR BANJARMASIN

Semenjak virus corona mewabah, pemerintah memilih untuk menerapkan social distancing dibanding mengambil kebijakan lockdown. Masyarakat pun diimbau untuk saling menjaga jarak. Bagi masyarakat Banjar yang memiliki tradisi komunal (baca: suka berkumpul), kebijakan ini sedikit susah untuk dipatuhi. Apakah kebijakan jaga jarak ini bisa dipatuhi oleh masyarakat Banjar?

----

Bagi masyarakat Banjar, berkumpul di warung-warung sudah menjadi kebiasan sejak lama. Berkumpul sembari berucauan di warung-warung teh dan kopi di kampung sudah menjadi tradisi. Bagi mereka, berkumpul selain membuang penat juga menjalin silaturahmi.

Ikhsan, warga Banjarmasin mengaku, dia hampir tiap sore setelah pulang kerja enggan pulang ke rumah sebelum duduk di warung kopi di kampungnya. Kebiasaan ini sudah dilakoninya sejak muda.

Bahkan meski virus corona mewabah dan situasi darurat diberlakukan, kebiasaannya tidak hilang. “Sudah lama seperti ini, kalau tak nongkrong rasanya beda,” ujarnya yang menambahkan dalam berkumpul yang penting dia bisa menjaga jarak.

Meski pemerintah terus menerus menggaungkan sosialisasi untuk memberlakukan jarak sosial, warga tidak serta-merta mematuhi. Di Kotabaruaturan itu terlihat begitu sulit diterapkan. Anak-anak muda, banyak mengaku bosan di rumah. "Yang penting kan tidak ketemu orang asing," ujar Randi warga pusat kota.

Aldi, seorang PNS di Kandangan mengaku dia saat ini menjaga jarak saat bertemu dengan orang tidak dikenal.“Ada rasa curiga kalau ketemu orang tak dikenal. Karena siapapun bisa kena virus ini,” ucapnya.

Bagus, seorang warga Batola mengaku tidak selalu menerapkan social distancing. Dirinya masih masih berkumpul bersama teman-teman. Hanya saja saat bertemu dengan orang baru, dia menjaga jarak "Tidak ada jarak bagi kami selama itu teman akrab," ujarnya.

Peneliti budaya di Kalsel, Wajidi Amberi menuturkan, meski budaya berkumpul masyarakat Banjar sangat kental. Namun, perlu diingat, masyarakat Banjar memiliki kepatuhan yang sangat tinggi.

Apalagi jika imbauan tersebut datang langsung dari tokoh agama yang menjadi panutan di masyarakat. Dia memberi contoh pada saat keluarnya imbauan yang ditiadakannya sementara salat Jumat tadi, masyakarat sadar dan patuh terhadap imbauan ini. “Memang susah menghilangkan kebiasaan, tapi jika masyarakat diberi pemahaman dan disampaikan langsung oleh seorang panutan, mereka akan patuh,” kata peneliti sejarah di Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Kalsel itu.

Budayawan Banjar, Tajuddin Noor Ganie menilai, dilihat dari kultur budaya Banjar, perlu waktu penyesuaian yang relatif lama bagi masyarakat Banua untuk bisa menaati kebijakan social distancing atau jaga jarak.

"Karena ada banyak kegiatan sosial yang mengharuskan warga Banjar 'bagarumun' selama ini. Jadi perlu penyesuaaian di sana-sini untuk menyikapi budaya baru jaga jarak berkenaan dengan Covid-19 sekarang ini," katanya kepada Radar Banjarmasin, kemarin.

Dia mengungkapkan, kegiatan sosial yang mengharuskan masyarakat berkumpul yang sulit ditinggalkan orang Banjar diantaranya ialah, tahlilan, haulan dan yasinan. "Biasanya ada juga ceramah mingguan di masjid yang sudah terjadwal. Jadi, kebijakan jaga jarak tidak bisa serta merta dipatuhi masyarakat Banjar," ungkapnya.

Namun, Tajuddin membeberkan, demi keselamatan dan memutus mata rantai Covid-19, saat ini masyarakat Banjar sudah mampu menerapkan social distancing.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X