Menyaksikan Tradisi Tolak Bala Dayak Meratus; Dilaksanakan Saat Magrib, Untuk Cegah Corona

- Sabtu, 25 April 2020 | 11:22 WIB
Rusdiansyah, tetua adat Dayak Meratus Kecamatan Piani Kabupaten Tapin, melakukan ritual tolak bala, untuk cegah wabah Covid-19. | Foto: Rasidi Fadli/Radar Banjarmasin
Rusdiansyah, tetua adat Dayak Meratus Kecamatan Piani Kabupaten Tapin, melakukan ritual tolak bala, untuk cegah wabah Covid-19. | Foto: Rasidi Fadli/Radar Banjarmasin

Masyarakat adat Dayak Meratus di Kecamatan Piani Kabupaten Tapin menggelar ritual tolak bala. Mereka tak ingin virus Covid-19 menyebar di Bumi Ruhuy Rahayu.

-- Oleh: RASIDI FADLI, Rantau --

Tepat pukul 17.30 Wita, suasana sunyi terasa di kediaman Rusdiansyah. Hanya tinggal beberapa rumah yang ada penghuninya. Termasuk rumah salah seorang tetuha adat yang akrab disapa Pangbalum itu.

Rata-rata warga Desa Pipitak Jaya sudah pindah tempat. Lokasinya masih sekitar gunung Meratus. Permukiman mereka sebentar lagi akan tenggelam. Terdampak pembangunan bendungan yang termasuk proyek strategis nasional.

Kebetulan Pangbalum lagi memotong bambu. Dua bambu panjang untuk menaruh kelapa yang ditaruh berseberangan jalan. Sedangkan tiga bambu kecil untuk menaruh nasi lakatan warna warni. Ini diletakkan di bawah bangunan segi empat.

Bangunan ini terbuat dari kayu-kayu bekas. Atasnya berfungsi untuk menaruh berbagai sesajen yang sudah disiapkan dari siang hari. Setelah semua siap, tepat pukul 18.30 Wita, ritual adat dimulai. Berbagai macam mantra diiringi dengan doa dibacakan oleh pria berumur sekitar 60 tahunan ini. Setengah jam kemudian ritual tolak bala selesai.

Rusdiansyah bercerita biasanya ritual tolak bala dilakukan masyarakat satu kampung. Tapi karena kondisi sekarang ini, terpaksa ia sendiri yang melakukan. "Kalau satu kampung sangat ramai. Bahan yang disediakan untuk sesajen pun banyak. Termasuk setelah selesai, akan makan-makan besar," ucapnya.

Ada hal yang tidak boleh dilakukan setelah keesokan harinya. Untuk yang melakukan ritual tolak bala.

Tidak boleh belanja, tidak boleh mandi, tidak boleh memasak ikan, tidak boleh membuat kue, dan tidak boleh berjalan-jalan ke luar desa. "Kami menyebutnya pamali. Kalau melanggar harus denda. Dendanya memakai sarung di balai adat, untuk mengakui kesalahan," kata ayah dari Tito ini.

Untuk prosesi ritual adat sendiri banyak yang harus dipersiapkan. Terutama untuk keperluan sesajen, mulai dari lakatan merah, lakatan putih, lakatan hitam, dan beras biasa masing-masing satu liter.

"Kemudian telor ayam kampung 2 biji, kelapa muda 4 biji, gula merah 2 biji, gula putih 1 kilogram, kelapa muda 2 biji, ayam kampung satu ekor, garam 1 bungkus, gambir 1 biji, kapur 1 bungkus, rokok gudang jati dan dupa," bebernya.

Untuk ayam, khusus untuk darahnya diambil lalu dibuat dalam wadah kecil. Sementara barang-barang lainnya dikumpulkan jadi satu dalam nyiru. Tidak ketinggalan, kopi manis dan kopi pahit juga dibuat.

"Semua itu sebagai syarat untuk ritual tolak bala," ucapnya. Prosesinya sendiri biasanya dilakukan setiap malam Jumat tepatnya pukul 18.30 Wita atau ketika Magrib tiba.

Menurutnya, ritual tolak bala ini tidak hanya untuk Desa Pipitak Jaya saja. Tapi, prosesi kali ini dilakukan untuk Kabupaten Tapin secara umum. Berbeda dengan sebelumnya sudah dilakukan masyarakat Dayak Meratus Kecamatan Piani, tapi khusus untuk desanya saja.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X