Batola Siap Danai Kesehatan Sendiri, Pengamat: Perlu Keadilan Substansial dalam Kesehatan

- Senin, 15 Juni 2020 | 12:47 WIB
Noormiliyani, Bupati Batola.
Noormiliyani, Bupati Batola.

MARABAHAN - Polemik BPJS dengan Pemkab Batola masih belum usai. Bupati Batola Noormiliyani mengaku kukuh pada pendiriannya untuk memutusa kerjasama dengan BPJS Kesehatan.

"Apapun jawaban mereka, selam tidak sesuai permintaan kami, kami tidak akan melunak," ujar Noormiliyani kepada Radar Banjarmasin. Awal "perang" dengan BPJS ditandai dengan tidak dilakukannya pembayaran iuran BPJS kesehatan selama tiga bulan kedepan.

"Kami melihat dulu gerakan yang diambil BPJS. Apakah mereka berani mengambil sebuah gebrakan di tengah pandemi ini," ujarnya yang mengatakan sejauh ini abelum melihat langkah yang signifikan dari BPJS kesehatan untuk menyelesaikan masalah ini.

Noormiliyani sudah siap dengan segala risikonya. Meski pemutusan kerjasama layanan kesehatan dengan BPJS berpotensi menyalahi aturan, namun dia mengaku akan mengurusnya ke pusat. "Kami siap menghadap Mendagri dan BPK untuk minta izin menggunakan dana APBD mengkaver kesehatan masyarakat tidak mampu," ujarnya.

Dia mengatakan Pemkab Batola tidak menuntut terlalu banyak. Mereka hanya minta agar ada pemangkasan birokrasi untuk kasus yang darurat atau urgen. Selama ini mengaktifkan BPJS kesehatan perlu waktu 14 hari. Ini yang dinilai Noormiliyani tidak berperikemanusiaan.

Kepala BPJS Kesehatan Kantor Cabang Banjarmasin Tutus Novita Dewi menyampaikan bahwa pengaktifan keanggotaan dalam BPJS Kesehatan berkaitan dengan data Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK)yang mengacu pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Dalam hal ini, BPJS Kesehatan tidak memiliki wewenang untuk mendaftarkan masyarakat ke dalam DTKS. Oleh karena itu, diharapkan Pemerintah Daerah dapat berperan aktif mendata dan mendaftarkan penduduknya yang belum masuk ke dalam DTKS, untuk selanjutnya dilaporkan kepada Kementerian Sosial.

Tutus mengatakan sesuai amanah Peraturan Presiden RI Nomor 82 Tahun 2018 pasal 99, Pemerintah Daerah wajib mendukung penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Antara lain melalui peningkatan pencapaian kepesertaan di wilayahnya, kepatuhan membayar iuran, peningkatan pelayanan kesehatan, dan dukungan lainnya sesuai ketentuan perundang-undangan dalam rangka menjamin kesinambungan Program Jaminan Kesehatan.

Pemerintah Daerah juga diharapkan mengikuti Permendagri Nomor 33 Tahun 2019 Tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2020 yang dengan sangat jelas ditekankan bahwa dalam rangka mewujudkan Universal Health Coverage (UHC). Pemerintah Daerah melakukan integrasi Jaminan Kesehatan Daerah dengan Jaminan Kesehatan Nasional guna terselenggaranya jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk.

Tutus menyampaikan akan berkoordinasi lebih lanjut dengan pemda untuk meningkatkan cakupan kepesertaan agar bisa mencapai UHC (Universal Health Coverage). Supaya apabila ada penduduk yang belum didaftarkan bisa didaftarkan dan langsung aktif. Sehingga tidak ada penduduk yang terkendala dalam mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan.

Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Demokrasi (Pusdikrasi) Banjarmasin, M. Rezky Habibi beranggapan kebijakan pemutusan atau penghentian sementara kerjasama dengan BPJS Kesehatan yang diambil Noormiliyani terbilang berani. Dalam aspek hukum, alasan terbitnya aturan hukum (ratio-legis) dari keberadaan BPJS merupakan amanat UUD NRI Tahun 1945 yang dijelmakan dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) yang semangatnya memberikan jaminan kesehatan bagi warga negara yang tidak mampu. "Hanya saja jika direfleksikan, prosedur birokrasi formal tentang penjaminan perlindungan kesehatan bagi warga negara sering kali menimbulkan ketidakadilan," ujarnya.

Lanjut Habibi menjelaskan, dalam aspek HAM, upaya untuk memberikan perlindungan kesehatan terhadap warga negara juga diatur melalui Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Hanya saja dalam praktik, tidak seperti yang tertuang dalam aturan.Ada garis pembatas yang cukup tajam antara yang dicita-citakan dan fakta di lapangan.

Dia menilai kasus bayi penderita jantung bocor di Barito Kuala ini mesti menjadi kritik terhadap pembuat kebijakan (pembentuk peraturan perundang-undangan) untuk mengakomodir kondisi keadaan darurat. "Setidak-tidaknya memangkas atau memotong jalur birokrasi formal untuk warga negara yang tergolong menderita penyakit parah, agar mendapatkan proses lebih cepat," ucapnya.

Dia mengatakan aspek birokrasi menjadi isu sentral yang seringkali menimbulkan ketidakadilan pada masyarakat bawah. "Dalam ilmu hukum seringkali muncul adagium bahwa terlambat dalam memberikan keadilan merupakan salah satu bentuk ketidakadilan.Sehingga memangkas atau memotong jalur birokrasi formal menjadi penting untuk melahirkan keadilan substansi dalam bidang kesehatan," jelasnya.

Sebelumnya, geram dengan kinerja dan pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di daerahnya, Bupati Batola Noormiliyani memutus hubungan kerja dengan BPJS kesehatan.

Kekecewaan sang kepala daerah wanita pertama di Kalsel itu karena BPJS kesehatan tidak mau membantu seorang bayi warga Batola yang mengalami bocor jantung."Pemerintah daerah telah secara langsung meminta tolong kepada BPJS untuk mengkaver. " Ternyata mereka tidak bisa dengan alasan bermacam-macam," ujarnya.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pertanyakan Konsistensi Dinas PUPR

Selasa, 23 April 2024 | 08:45 WIB
X