Belajar Daring Bagi Pelajar Pulau Bromo; "Kami Merasa Semakin Tertinggal"

- Kamis, 18 Juni 2020 | 18:47 WIB
KERTAS DAN PENA: Anak Pulau Bromo masih mengerjakan tugas dari gurunya dengan kertas dan pena. Di sini, gawai dan internet adalah barang mahal. | FOTO: WAHYU RAMADHAN/RADAR BANJARMASIN
KERTAS DAN PENA: Anak Pulau Bromo masih mengerjakan tugas dari gurunya dengan kertas dan pena. Di sini, gawai dan internet adalah barang mahal. | FOTO: WAHYU RAMADHAN/RADAR BANJARMASIN

Tidak semua sekolah bisa menerapkan sistem belajar daring selama pagebluk. Seperti di Pulau Bromo. Di sini, kebanyakan siswa dan siswinya tidak memiliki gawai.

-- Oleh: WAHYU RAMADHAN, Banjarmasin --

KAPAL feri penyeberangan meluncur pelan. Membawa penulis ke pulau yang dihuni 750 kepala keluarga itu, kemarin (17/6). Ongkosnya murah. Bolak-balik hanya Rp2 ribu. Tak sampai 10 menit, sudah bersandar di dermaga.

Dari kejauhan, tampak alat berat terus bekerja. Menancapkan tiang-tiang pondasi yang kelak menopang jembatan gantung sepanjang 168 meter, melintang di atas Sungai Barito. Jembatan yang sudah lama diidam-idamkan masyarakat Pulau Bromo.

Selama ini, untuk pergi ke kota, warga bergantung pada moda transportasi sungai. Praktis, alur perpindahan orang dan barang amat ditentukan arus pasang dan surut sungai.

Pulau Bromo berada di perbatasan Banjarmasin dan Kabupaten Banjar. Secara administrasi masuk wilayah Kelurahan Mantuil Kecamatan Banjarmasin Selatan.

Di delta ini ada tiga gedung sekolah. Dua sekolah dasar, yakni SDN Mantuil 4 dan SD Austral Byna. Dan satu gedung Madrasah Tsanawiyah (MTs) Byna Taqwa.

Di masa pagebluk, pelajar di kota mungkin leluasa belajar via sambungan video. Dengan smartphone atau laptop plus sambungan WiFi. Sedangkan di Bromo, proses belajar benar-benar masih mengandalkan kertas dan pena.

"Bukan persoalan jaringan internet. Di sini sinyal lancar, meski tak semua operator masuk. Masalahnya, anak-anak tidak memiliki smartphone atau laptop," beber Kepala MTS Byna Taqwa, Mukari.

Maka, ketika pemerintah menyerukan belajar dari rumah, para guru di Bromo dipaksa memutar otak. Hasilnya dengan cara memberikan penugasan. "Tugas dikumpulkan sepekan atau dua pekan sekali. Seperti hari ini," bebernya.

Instruksinya sederhana. Siswa atau orang tua siswa yang kebetulan memiliki gawai, dimasukkan ke dalam sebuah grup WhatsApp. Dari situ, yang bersangkutan mengabarkan kepada yang lainnya. Maksudnya kepada yang tidak memiliki gawai.

"Alhamdulillah, semua informasi sampai. Karena rumah-rumah siswa berdekatan," bebernya.

Mukari yang tinggal di Kayu Tangi, Banjarmasin Utara, prihatin dengan perekonomian keluarga muridnya. Mayoritas bekerja sebagai buruh. Mereka sekolah saja sebuah keberuntungan. Tak sampai hati ia memaksa siswanya membeli gawai atau komputer.

"Anak-anak selalu bersemangat kalau belajar," tuturnya. "Tapi ketika kami merasa tertinggal, sekarang kami merasa menjadi semakin tertinggal," tambahnya.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

BPJS Ketenagakerjaan Perkuat Kerja Sama dengan SRC

Jumat, 29 Maret 2024 | 14:49 WIB

Ekonomi Bulungan Tumbuh 4,60 Persen

Kamis, 28 Maret 2024 | 13:30 WIB
X