Sanksi Parpol Tak Usung Calon di Pilkada

- Jumat, 26 Juni 2020 | 11:25 WIB
Analis Hukum Pemerintah Provinsi Kalsel, Riswan Erfa Mustajillah
Analis Hukum Pemerintah Provinsi Kalsel, Riswan Erfa Mustajillah

Kontestasi pesta demokrasi lokal di tahun ini akan kembali digelar. Setidaknya ada 270 Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan secara serentak. Sembilan daerah akan menggelar pemilihan gubernur-wakil gubernur, 224 daerah pemilihan bupati-wakil bupati, dan 37 daerah akan menggelar pemilihan Walikota-Wakil Walikota. Meskipun terpaksa mengalami penundaan akibat pandemi Covid-19, dinamika pilkada serentak pasti akan tetap berjalan dinamis.

================================
Riswan Erfa Mustajillah
Analis Hukum Pemerintah Provinsi Kalsel
================================

Di banyak daerah, para kandidat sudah berburu rekomendasi parpol untuk bisa maju dalam kontestasi itu. Begitu pula kandidat dari calon perseorangan, masih berupaya agar bisa lolos ke arena pemilihan.

Demokrasi di tingkat lokal itu juga dapat dibaca sebagai pelaksanaan daulat rakyat di daerah-daerah. Kesempatan menentukan secara langsung siapa yang akan menjalankan pemerintahan daerahnya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) memang menegaskan rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan pelaksanaannya menurut Undang-Undang Dasar. Penegasan letak kedaulatan itu bisa dilacak dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Pemaknaan "kedaulatan berada di tangan rakyat" bisa dipahami rakyat sebagai subjek yang memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin guna menjalankan pemerintahan.

Dalam konteks pilkada, peletakan asas daulat rakyat di daerah juga punya landasan konstitusional. Hal ini bisa ditemukan dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Pasal itu menyatakan, bahwa gubernur, bupati, dan wali kota sebagai kepala pemerintah daerah dipilih secara demokratis. Pasal ini kemudian diformulasikan dalam ketentuan-ketentuan yang ada di undang-undang yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah. Yakni, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang, sebagaimana terakhir diubah dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2020. Pilkada pun dilakukan secara langsung berdasar ketentuan tersebut.

-------
Cegah Calon Tunggal

Namun demikian, kontestasi pilkada tidak selalu berjalan ideal. Misalnya, munculnya fenomena calon tunggal. Fenomena ini membuat pemilih terbatasi haknya untuk punya alternatif pilihan calon pemimpin daerah. Apabila kita cermati data gelaran pilkada serentak di tahun 2015, 2017, dan 2018, maka selalu muncul calon tunggal. Di pilkada serentak tahun 2015 ada 3, tahun 2017 ada 9, dan tahun 2018 ada 16. Penyebabnya tentu dipengaruhi oleh banyak faktor.

Salah satu hal yang diyakini mengemukanya calon tunggal adalah masalah kaderisasi parpol. Terbatasnya kader yang punya kapasitas dan elektabilitas untuk dapat berkontestasi secara langsung. Masalah keterbatasan ini juga sangat mungkin menyebabkan parpol terpaksa mendukung calon yang bukan dari lingkaran kader. Padahal parpol sebetulnya menentukan demokrasi.
Sebagaimana diungkapkan oleh Schattscheider yang menyebut “Political parties created democracy”. Karenannya parpol menjadi penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties”.

Parpol memang bisa menjadi ‘benalu’ demokrasi, tetapi pada dasarnya parpol punya fungsi yang sangat strategis dalam demokrasi. Para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi parpol. Miriam Budiardjo misalnya, menyebutkan fungsi itu meliputi sarana: sarana komunikasi politik; sosialisasi politik; sarana rekruitmen politik; dan pengatur konflik. Fungsi-fungsi parpol yang ideal inilah yang mesti terus dijalankan oleh parpol.

Formulasi Sanksi

Di luar itu, ambang batas pencalonan kepala daerah juga menjadi salah satu hal yang boleh jadi membuat parpol tidak mengusung calon atau terpaksa ikut mengusung calon yang hanya ada satu-satunya. Ketentuan ambang batas harus dibuat lebih proporsional. Sehingga parpol punya keleluasaan untuk bisa mengusung kandidat di ajang pilkada. Apabila ambang batas telah diturunkan, maka formulasi untuk memberikan sanksi bagi parpol yang tidak mengusung calon dalam pilkada, meskipun telah memenuhi syarat untuk mengusung calon kepala daerah bisa dilakukan.

Walalupun konsep mengusung dan tidak mengusung adalah masalah hak dan bukan suatu kewajiban. Sehingga memformulasikan ancaman sanksi bisa dinilai sebagai sesuatu yang tidak relevan. Tetapi posisi parpol yang secara esensial punya kewajiban untuk memberikan alternatif calon pasangan kepala daerah kepada rakyat dalam sebuat kontestasi pesta demokrasi. Sehingga parpol perlu didorong secara optimal untuk bisa mengusulkan calon kepala daerah. Dalam konteks inilah maka ada formulasi ketentuan hukum terkait ancaman sanksi itu menjadi relevan. Formulasi itu, misalnya memuat ancaman sanksi berupa tidak dapat mengusung calon di pilkada berikutnya.

Formulasi ancaman sanksi bagi parpol itu dapat menunjukan bahwa ada upaya membangun demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (negara hukum) sekaligus. Orientasi diaturnya sanksi bagi parpol yang memenuhi syarat, namun tidak mengusulkan kepala daerah sebagai upaya untuk mencegah munculnya calon tunggal adalah orientasi politik hukum yang sejalan dengan kaidah-kaidah kebijakan umum dan politik hukum. Misalnya perihal upaya membangun demokrasi, maka upaya mencegah calon tunggal patut didorong untuk memberikan alternatif bagi rakyat di daerah untuk menentukan calon pemimpinnya.
Ketentuan ancaman sanksi tersebut juga akan dapat membuat parpol menjalankan fungsi-fungsinya. Parpol yang tidak ingin mendapatkan sanksi dan ingin mempertahankan eksestensinya tentu akan menjalankan fungsi ini. Setidaknya parpol mulai membangun sarana rekrutmen kader-kader parpol. Masyarakat akan disajikan beberapa pilihan, sehingga mereka punya preferensi pilihan politik yang lebih beragam.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Rem Blong, Truk Solar Hantam Dua Rumah Warga

Kamis, 28 Maret 2024 | 19:00 WIB

Masalah Pendidikan Jadi Sorotan Ombudsman

Kamis, 28 Maret 2024 | 16:50 WIB

Gempa 3,3 Magnitudo Guncang Kotabaru

Kamis, 28 Maret 2024 | 15:58 WIB

Januari hingga Maret, 7 Kebakaran di Balangan

Selasa, 26 Maret 2024 | 15:35 WIB
X