Republik Keluh-Kesah

- Kamis, 2 Juli 2020 | 08:55 WIB
M Rezky Habibi R, Mahasiswa Magister Hukum ULM, dan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Demokrasi (Pusdikrasi)
M Rezky Habibi R, Mahasiswa Magister Hukum ULM, dan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Demokrasi (Pusdikrasi)

Keluh-kesah kini menjadi bagian yang selalu menghinggapi perasaan sebagian umat manusia di dunia,semenjak munculnya fenomena wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-l9) yang telah merenggut paling tidak 498.723jiwa manusia (who,29/06/2020). Covid-19 membuat pemimpin banyak negara berlomba-lomba dalam membuat dan mengambil kebijakan untuk melindungi rakyatnya guna melawan musuh yang tak kasat mata ini.

==========================================
Oleh: M Rezky Habibi R
Mahasiswa Magister Hukum ULM
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Demokrasi (Pusdikrasi)
==========================================

Dari sebagian besar negara, kebijakan Indonesia melawan musuh tak kasat mata terbilang cukup menimbulkan polemik di sana-sini. Mulai dari polemik perbedaan kebijakan menangani Covid-19 antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, polemik perbedaan kebijakan antar kementerian, polemik pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dianggap tidak efektif (kompas/09/05/2020), serta polemik terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Covid-19 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU) yang hari ini konstitusionalitasnya sedang di uji di Mahkamah Konstitusi (MK), hingga polemik pemberlakukan new normal di tengah fakta empiris masih tingginya angka yang terinfeksi Covid-19telah cukup memunculkan perasaan keluh-kesah masyarakat di tengah pandemi Covid-19.

Keluh-kesah juga seakan melebarkan sayapnya. Tidak hanya pada polemik kebijakan penanganan covid-19, di bidang legislasi misalnya, riak-riak keluh-kesah masyarakat memunculkan protes bernada sumbang ihwal munculnya segerombolan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dianggap tidak representatif dan abai akan kondisi sulit masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Alih-alih fokus mengoptimalkan fungsi pengawasan DPR dalam mengawasi dana besar penanganan Covid-19, justru seolah-olah mengoptimalkan fungsi legislasi.

Gerombolan RUU yang memunculkan keluh-kesah tersebut mulai dariRUU “Omnibus Law” Cipta Kerja yang dianggap tidak demokratis, mengingat metode omnibus law banyak mengganti dan mengubah norma beberapa UU dalam satu waktu. Padahal pada prinsipnya beberapa UU tersebut memiliki inisiatif politik hukum yang berbeda-beda secara ratio legis-nya serta mengatur subjek (adressat) yang berbeda-beda. Ditambah lagi sejumlah substansi pasal dalam RUU Cipta Kerja yang mengabaikan 31 putusanMK yang telah membatalkan sejumlah norma dalam beberapa UU yang justru dimasukan kembali dalam RUU Cipta Kerja, hingga potensi menerobos aspek formil pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU 12 Tahun 2011 yang menjadi kiblat dan pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Kedua, RUU Minerba yang hari ini telah disahkan menjadi UU3 Tahun 2020 dalam waktu singkat di tengah perjuangan masyarakat melawan Covid-19. Keluh-kesah satu dari beberapa pasal adalah soal jaminan perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa melalui pelelangan sebagaimana diatur dalam Pasal 169A, memunculkan sinyal kuat keberpihakan pada kepentingan pelaku industri batu bara. Sehingga keluh-kesah masyarakat yang muncul tak berlebihan, mengingat substansi perubahan UU Minerba tidak berbicara banyak tentang bagaimana pengelolaan dampak lingkungan akibat pertambangan dan perlindungan hak-hak kepada masyarakat di daerah yang terdampak pertambangan tersebut.

Ketiga, RUUMK yang substansinya mengatur pengangkatan dan pemberhentian hakim MK menjadi pertaruhan marwah sang pengawal konstitusi ini. Lebih jauh jika mencermati draf naskah akademik yang beredar, pada prinsipnya tidak memberikan jawaban secara akademik tentang legal reasoning apa yang menjadi landasan filosofis, sosiologis dan yuridis akan pentingnya mengubah syarat umur untuk menjadi hakim MK yang semula dalam UU 24 Tahun 2003 minimal 47 tahun menjadi paling rendah 60 tahun. Penghapusan periodesasi 5 tahunan masa jabatan hakim MK juga menjadi pertanyaan besar publik, terlebih hakim MK bukanlah hakim karir sebagaimana hakim di lingkungan Mahkamah Agung (MA), serta perpanjangan masa jabatan hakim MK hingga usia pensiun 70 tahun.

Sejumlah substansi dalam RUU MK inilah yang disinyalir sejumlah NGO yang tergabung dalam Koalisi Save Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai cara untuk “tukar guling” antara DPR, Presiden dan MK, supaya MK dapat menolak sejumlah pengujian konstitusionalitas yang krusial. Seperti revisi UU KPK dan Perppu Penangangan covid-19 yang telah disahkan menjadi UU yang hari ini di uji di Mahkamah Konstitusi.

Perlu untuk digarisbawahi adalah bukan agenda RUU MK yang pada prinsipnya harus ditolak, akan tetapi substansi yang ditermuat dalam RUU tersebutlah sebenarnya yang tidak menjawab problem hukum kontemporer judicial review di Indonesia. Mestinya RUU tersebut memberikan penguatan MK secara kelembagaan, misalnya memasukan hukum acara MK ke tingkat UU yang hari ini masih diatur dalam tingkat peraturan MK (PMK).

Lazimnya jika dibandingkan dengan hukum formil lainnya, seperti hukum acara pidana, hukum acara perdata dan hukum acara TUN, semuanya diatur dalam derajat UU. Lebih dari itu, pengujian peraturan perundang-undangan satu atap di MK juga penting untuk dibahas dalam RUU agar disparatis putusan judicial review antara MK dan MA tak terjadi lagi hingga pemberian kewenangan constitutional complaint jauh akan representatif untuk dilakukan pembahasan dalam substansi RUU MK guna mengoptimalkan peran MK dalam menyelesaikan dan memulihkan pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara oleh penyelenggara negara.

Keempat, adalah RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang memunculkan keluh-kesah akan kekhawatiran meredukasi nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Walaupun jika dicermati RUU HIP secara mendetail, maka akan terlihat politik hukumnya adalah untuk memperkuat legitimasi keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang hanya dibentuk dengan Peraturan Presiden (Perpres) 7 Tahun 2018. Tentu saja jika hanya diatur dalam tingkat Perpres bukan suatu hal sulit keberadaan BPIP akan dapat dengan mudah dibubarkan oleh presiden terpilih selanjutnya.

Akan tetapi, pilihan isu politik hukum untuk memperkuat keberadaan BPIP seperti dikalahkan dengan munculnya konsep Trisila dan Ekasila dalam Pasal 7 RUU HIP. Munculnya pasal 7 ini seakan menurunkan derajat Pancasila ke tingkat UU. Bahkan lebih jauh, keberadaan pasal itu seolah mengingkari hasil amandemen UUD NRI 1945 dengan meletakkan Pancasila dalam Pembukaan UUD NRI 1945 yang bersifat final.

Dalam kacamata yang lain, munculnya konsep Trisila dan Ekasila ini jika dikaitkan dengan ketiadaan TAP MPRS XXV/MPRS/1966 dalam konsideran mengingat RUU HIP, memunculkan sinyal akan tumbuh-kembang kembali keberadaan PKI dan Komunis. Sehingga unjuk rasa turun ke jalan beberapa hari yang lalu di tengah badai pandemi Covid-19 dalam memprotes RUU HIP harus dimakni sebagai ekspresi keluh-kesah masyarakat.

Oleh karena itu, agar keluh-kesah masyarakat tidak meluas, maka menjadi penting segerombolan RUU di atas harus ditunda pembahasannya dan dilanjutkan dengan membuka kran partisipasi publik dalam pembahasan selanjutnya melalui dialog dengan masyarakat. Tentu saja pembahasan tersebut dilakukan setelah pandemi Covid-19 sudah melandai.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Rem Blong, Truk Solar Hantam Dua Rumah Warga

Kamis, 28 Maret 2024 | 19:00 WIB

Masalah Pendidikan Jadi Sorotan Ombudsman

Kamis, 28 Maret 2024 | 16:50 WIB

Gempa 3,3 Magnitudo Guncang Kotabaru

Kamis, 28 Maret 2024 | 15:58 WIB
X