Corona, Politik, dan Kesetiaan

- Jumat, 3 Juli 2020 | 10:03 WIB
Budi ‘Dayak’ Kurniawan , Direktur Pusat Data, Analisis,Media, dan Masyarakat (PADMA) Institut
Budi ‘Dayak’ Kurniawan , Direktur Pusat Data, Analisis,Media, dan Masyarakat (PADMA) Institut

Dalam soal wabah, orang di Eropa punya catatan muram tentang ‘Sampar Justinian’ di abad ke-6. Pada masa kekuasaan Maharaja Justinianus di Konstantinopel itu –kini bernama Istambul--, penyakit pes merenggut sebanyak 40 persen penghuni kota. Pada tahun 750, pes mereda. Namun separuh penduduk Eropa kala itu tandas. 

=====================================================
Oleh: Budi ‘Dayak’ Kurniawan 
Direktur Pusat Data, Analisis,Media, dan Masyarakat (PADMA) Institut
=====================================================

Pada abad ke-14, wabah kedua yang disebut ‘Maut Hitam’ datang. Jumlah korbannya hampir sebanyak korban Perang Dunia II. Wabah pes yang bermula dari konflik beraroma sektarian di Caffa, di semenanjung Crimea di pantai utara Laut Hitam --kini bernama Feodisiya, kota kecil yang diperebutkan Ukraina dan Rusia. Caffa dihabisi pes dan wabahnya merengsek ke seluruh Eropa. 

Di penghujung Perang Dunia I pada Januari 1918, wabah yang kemudian dikenal sebagai ‘Spaansche Griep‘ atau ‘Flu Spanyol’ bermula. Ribuan tentara Perancis yang berjaga di parit-parit garis pertahanan terdepan tewas akibat wabah ini. ‘Flu Spanyol’ kemudian menjadi pandemi pada 1918 - 1920. 

Mobilitas manusia dengan berbagai aktivitasnya, ekonomi, perdagangan, ekspedisi, dan pencarian wilayah jajahan baru, membuat virus ini menyebar cepat ke seluruh dunia. Yuval Noah Harari dalam bukunya ‘Homo Deus’ menulis hanya perlu beberapa bulan flu ini menyebar ke seluruh dunia. Flu menginfeski setengah miliar manusia. Sekitar 100 juta orang di dunia tewas. Jumlah yang tewas lebih banyak dari korban Perang Dunia I (1914 - 1918), 40 juta orang.

Tim Departemen Sejarah Universitas Indonesia pada 2009 merilis penelitian tentang sejarah pandemi flu di Indonesia pada 1918. Arsip Kolonial menyebut virus telah menginfeksi wilayah Sumatera, Sulawesi, Jawa, hingga Maluku.

Di Kalimantan, seperti yang ditulis Johan Eisenberg, peneliti Belanda, dalam catatan di bukunya ‘Kroniek van Zuider en Oosterafdeeling van Borneo’ atau ‘Catatan Peristiwa di Wilayah Selatan dan Timur Borneo’ (terbit di Banjarmasin pada 1936), ‘Flu Spanyol’ masuk ke Nusantara dalam dua gelombang. Gelombang pertama terjadi pada Juli - September 1918, kala itu Kalimantan belum terhantam pandemi ini. Pada gelombang kedua pada akhir tahun 1918 (September -Desember) barulah Kalimantan terkena ‘Flu Spanyol’.

Hal ini terungkap dalam telegram Residen Borneo Timur dan Selatan yang berkedudukan di Banjarmasin yang melaporkan sebanyak 1.424 orang di daerahnya telah menjadi korban flu ini. Wabah masuk melalui pelabuhan di Banjarmasin dan Samarinda. Flu dibawa pekerja kapal yang sandar dan menulari pekerja pelabuhan, lalu kemudian menyebar ke penduduk lokal. 

Pemerintah Hindia Belanda kewalahan menghadapi wabah ini dan mengusulkan ada semacam karantina oleh lembaga kesehatan masa itu. Namun usul itu ditentang keras para pedagang yang khawatir pada dampak ekonominya. 

Sejarawan Banjar, Amir Hasan Bondan, dalam ‘Suluh Sedjarah Kalimantan’ (terbit tahun 1953) menerjemahkan ‘Spaansche Griep’ bukan sebagai ‘Flu Spanyol’. Amir Hasan Bondan menyebutnya sebagai ‘Garing Panas’ atau demam panas. Amir Hasan Bondan menyebut wilayah sebaran penyakit ini meliputi seluruh Kalimantan.

Wabah datang melalui jalur pedagangan dan perkapalan. Di wilayah Keresiden Borneo Selatan dan Timur yang berpusat di Banjarmasin dan Residen Borneo Timur yang berpusat di Samarinda, keduanya merupakan dua pelabuhan strategis yang dilalui pelayaran domestik dan internasional kala itu. Di Samarinda misalnya, pada tahun 1876 beropeasi perusahaan perkapalan besar, ‘Koninklijk Paketvaart Maatschappij’ atau KPM. Pelabuhan kala itu digunakan Kerajaan Kutai Kartanegara.

Sikap orang kebanyakan yang tak memiliki kemampuan dan akses pada pengobatan modern menghadapi wabah ini antara lain mengembalikan persoalan kepada kehendak Yang Maha Besar atau relatif pasrah. Sebagian menggunakan pengobatan melalui doa-doa dan mantera-mantera. Misalnya air didoakan para tetua dan pemuka agama lalu diminum dan ditebarkan di sekliling rumah dan kampung.

Orang Dayak kala itu menyebut ‘Flu Spanyol’ sebagai penyakit “aneh” atau dalam bahasa Dayak Ngaju disebut sebagai ‘Peres baratus gangguranan ara, sampar sakuyan sasabutan bitie bara kalimbahan laut manggantung’ atau penyakit yang berbahaya, menular, dan menjatuhkan banyak korban.  

Dari kacamata orang Dayak di Kalimantan kala itu, ‘Flu Spanyol’ dianggap sebagai akibat supranatural dan teluh. Sebagian lainnya menganggap telah terjadi pelanggaran terhadap pantangan dan hukum adat, atau ada pelanggaran terhadap wilayah larangan dan tempat yang disucikan. Artinya keseimbangan alam sedang terganggu. Alam besar dan alam kecil tak lagi seimbang. Diperlukan pengorbanan dan langkah besar untuk mengembalikan keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos itu.  

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kebakaran, Duit Sisa THR Ikut Hangus

Sabtu, 20 April 2024 | 09:15 WIB
X