Secercah Asa di Tengah Wabah Covid-19

- Kamis, 9 Juli 2020 | 10:53 WIB
Andi Aulia Khairunnisa, Mahasiswi Universitas Lambung Mangkurat
Andi Aulia Khairunnisa, Mahasiswi Universitas Lambung Mangkurat

Corona Virus Disease 19 (Covid-19) telah menjadi wabah sekaligus bencana yang melanda, tidak hanya bumi ibu pertiwi, tapi juga dunia, tanpa pandang suku, agama, ras, golongan, maupun status sosial.

=================================
Oleh: Andi Aulia Khairunnisa
Mahasiswi Universitas Lambung Mangkurat
=================================

Dengan angka pertumbuhan kasus per 18 April 2020 sudah mencapai 5.923 kasus, 520 meninggal, dan 607 yang sembuh.

Dengan Case Fatality Rate yang mencapai 8,99%, belum lagi dunia seolah berusaha menutupi beberapa fakta. Tentu jumlah kasus faktual membuat kita terperangah, sekaligus memprihatinkan.

Menurut Pandu, salah satu tim penyusun draf Covid-19 Modelling Scenarios Indonesia-Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI), yang dikutip Detiknews (29/03/20), memprediksi jika tanpa intervensi negara, lebih kurang 2.500.000 orang berpotensi terjangkit Covid-19.  Bila intervensinya rendah, kurang lebih 1.750.000 orang berpotensi terjangkiti.

Prediksi tersebut diperkuat oleh Nuning Nuraini, tim dari Pusat Permodelan Matematika dan Simulasi (P2MS) Institut Teknologi Bandung (ITB), yang telah melakukan simulasi dan pemodelan sederhana mengenai prediksi penyebaran virus corona di Indonesia. Hasilnya, diprediksi akan mengalami puncak jumlah kasus harian Covid-19 pada akhir Maret 2020 hingga pertengahan April 2020. Pandemi tersebut diperkirakan berakhir pada saat kasus harian baru terbesar berada di angka sekitar 600 pasien, Kompas (23/03/20).

Meski pemerintah telah melakukan berbagai pencegahan, namun upaya tersebut dinilai belum mampu mengendalikan penyebaran Covid-19 di masyarakat. Terbukti dengan semakin luas penyebaran dan kurva sebaran positif berbagai daerah di Indonesia kian meningkat tajam. Lalu apakah upaya yang telah dilakukan pemerintah saat ini sudah sangat optimal?

Dari laman Suara.com (16/03/20), sebelum angka mencapai 1000 kasus yang lalu, banyak desakan dari beberapa pihak agar pemerintah melakukan lockdown atau karantina wilayah, termasuk di dalamnya pihak IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI), Laboratorium Eijkman, RS Cipto Mangunkusumo, RSUP Persahabatan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Adapun alasan pemerintah pusat tidak memberlakukan lockdown karena Indonesia memiliki karakter, budaya, dan tingkat kedisiplinan yang berbeda-beda. Alasan lain yang mendukung karena dinilai berdampak pada siklus perekonomian.

Ekonom dari Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Bhima Yudhistira memprediksi, Indonesia dapat mengalami krisis ekonomi apabila Jakarta lockdown. Rupiah sendiri kini terjun bebas pada angka Rp 16,305.00 per dolar AS.

Kondisi demikian membuat publik membuka mata melihat realita, naluri rasa kemanusiaan mengusik ketika tenaga medis yang menjadi garda terdepan dalam menangani Covid-19 mengalami kelelahan, Sebab jumlah pasien terus bertambah dan berbanding terbalik dengan kapasitas dan layanan rumah sakit yang tersedia. Ditambah dengan minimnya ketersediaan APD (alat pelindung diri).

Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan obligasi untuk perangi Covid-19, seperti dilansir detikfinance (07/04/20). Alih-alih memerangi justru memperkeruh masalah. Belum tuntas satu malah muncul lagi masalah lain. Pemerintah enggan menghentikan ambisi pembangunan infrastruktur yang akan menelan anggaran 1600 triliun rupiah, juga enggan menunda atau menghentikan proyek infrastruktur ibukota baru. Publik sebetulnya berharap agar anggaran proyek pemindahan ibu kota segera dapat dialihkan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya yang terdampak wabah Covid-19.

Di sisi lain, proses rancangan undang-undang Omnibus Law yang penuh pasal-pasal yang hanya menguntungkan pengusaha, tapi tidak melindungi buruh, bicaranya investasi tapi malah mereduksi kesejahteraan rakyat. Bahkan pemerintah menyiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 untuk dijadikan payung hukum agar tidak dipermasalahkan jika terjadi defisit anggaran lebih dari 3% Pendapatan Domestik Bruto (PDB).  Diperkirakan negara akan mengalami defisit anggaran 5,7% terkait penanganan Covid-19. Solusinya dengan menambah utang, bukan merelokasikan anggaran-anggaran lain yang kurang penting. (KataData.co.id - 06/04/20).

Adapun langkah yang diambil pemerintah adalah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), yaitu pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit dan kontaminasi.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pertanyakan Konsistensi Dinas PUPR

Selasa, 23 April 2024 | 08:45 WIB
X