PPDB yang Belum Merdeka

- Jumat, 10 Juli 2020 | 10:27 WIB
Muhammad Syamsuri, M.Pd, Guru SMAN 2 Kintap
Muhammad Syamsuri, M.Pd, Guru SMAN 2 Kintap

Penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang menandai segera dimulainya tahun ajaran baru 2020/2021, masih menimbulkan polemik. Mulai dari peraturan yang dianggap tidak berpihak kepada peserta didik pintar dan lebih mengutamakan peserta didik “tua”, sistem zonasi yang belum menunjukkan hasil dalam pemerataan kualitas pendidikan, sampai dengan sistem pendaftaran online yang belum mampu mempermudah proses pendaftaran, bahkan cenderung menyulitkan.

===========================
Oleh: Muhammad Syamsuri, M.Pd
Guru SMAN 2 Kintap
===========================

Berdasar Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan, disebutkan bahwa persyaratan calon peserta didik baru kelas 1 (satu) SD berusia 7 (tujuh) tahun sampai dengan 12 (dua belas) tahun atau paling rendah 6 (enam) tahun pada tanggal 1 Juli tahun berjalan. Pengecualian syarat usia paling rendah 6 (enam) tahun yaitu paling rendah 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan pada tanggal 1 Juli tahun berjalan yang diperuntukkan bagi calon peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dan kesiapan psikis yang dibuktikan dengan rekomendasi tertulis dari psikolog profesional atau rekomendasi dewan guru sekolah bersangkutan.

Redaksi dalam Permendikbud tersebut dirasa orang tua tidak memihak kepada anak yang memiliki kemampuan dia di atas rata-rata, dan seolah hanya mengutamakan usia saja dalam penerimaan peserta didik di SD. Padahal, memasukkan anak di usia lebih muda juga banyak manfaatnya, khususnya bagi peserta didik yang memiliki jiwa kompetisi tinggi, karena dalam setiap perlombaan yang diadakan selalu mensyaratkan usia maksimal. Jika peserta didik memiliki bakat bagus dalam sebuah bidang lomba, tetapi lambat masuk sekolahnya maka kesempatan untuk mengikuti lomba akan pupus, karena terganjal usia.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 tahun 2019 menyebutkan bahwa penerimaan peserta didik baru tahun ini melalui empat jalur yaitu jalur zonasi sebesar lima puluh persen, jalur afirmasi lima belas persen, jalur perpindahan domisili orang tua sebesar lima persen dan sisanya sebesar tiga puluh persen untuk jalur prestasi.

Sistem zonasi yang diterapkan sejak beberapa tahun lalu tidak semuanya berdampak positif, tetapi juga berdampak negatif. Dampak positif penerapan sistem ini antara lain, sekolah pinggiran berpeluang mendapat peserta didik baru yang lebih banyak dibanding sebelum diterapkannnya sistem zonasi.

Sekolah pinggiran berkesempatan mendapat peserta didik berprestasi lebih banyak. Orang tua yang kurang mampu dapat terkurangi beban biaya sekolah, karena sekolah anak tidak jauh dari rumah. Orang tua lebih mudah mengawasi pergaulan dan kemajuan belajar peserta didik. Bagi peserta didik akan lebih mudah beradaptasi karena kemungkinan besar peserta didik yang bersekolah di sekolah tersebut merupakan teman mereka sewaktu SD atau SMP, jika ada tugas rumah, maka peserta didik lebih mudah dalam mengerjakan karena rumah teman tidak jauh.

Sedangkan sisi negatifnya, antara lain kesempatan sekolah unggulan mendapat peserta didik berprestasi terpengaruh, karena peserta didik tidak lagi disaring berdasar prestasi akademik maupun non akademik, hal ini berpotensi menurunkan “gengsi” sebagai sekolah unggulan. Menurunkan optimisme orang tua yang anaknya berprestasi, karena sekolah unggulan akan lebih memprioritaskan peserta didik yang jarak rumahnya dekat dengan sekolah, meskipun ada kuota bagi peserta didik berprestasi, tetapi jumlah itu relatif kecil dibandingkan sistem zonasi.

Bagi peserta didik berprestasi, mereka akan mengalami beban mental karena sistem zonasi seolah “memaksa” mereka untuk bersekolah di sekolah yang jaraknya dekat dengan rumah, bukan berdasar terfasilitasinya bakat mereka.

Meski faktanya, penerapan sistem zonasi belum berpengaruh signifikan sebagai solusi pemerataan pendidikan, terbukti beberapa sekolah pinggiran sampai saat ini masih ada yang kekurangan peserta didik.

Evaluasi terhadap penerapan sistem zonasi mendesak dilakukan, pertimbangkan keinginan orang tua yang mengharapkan pendidikan terbaik bagi anaknya, pertimbangkan rotasi guru dan kepala sekolah berprestasi ke sekolah pinggiran. Karena dengan guru dan kepala sekolah berprestasi akan memiliki dampak positif dalam menarik minat orang tua dan peserta didik untuk menyekolahkan anaknya di sekolah pinggiran.

Pertimbangkan pemenuhan sarana dan prasarana di sekolah pinggiran, karena dengan sekolah yang sarananya lengkap, maka pembelajaran akan berlangsung dengan optimal. Pertimbangkan juga untuk mengevaluasi kinerja sekolah yang belum mampu memprioritaskan prestasi bagi sekolahnya, sehingga orang tua enggan menyekolahkan anaknya meski dekat dengan rumah peserta didik.

Yang terakhir, dipertimbangkan juga memberikan sanksi kepada sekolah unggulan yang menerima peserta didik baru melebihi kuota, karena hal tersebut merupakan salah satu sumber kegagalan penerapan sistem zonasi.

Penerimaan peserta didik baru seyogyanya menjadi tahapan menyenangkan bagi peserta didik, mengingat mereka akan masuk ke jenjang lebih tinggi. Sayangnya, regulasi terkadang secara tidak sadar membuyarkan mimpi orang tua dan peserta didik dalam mendapatkan pendidikan berkualitas.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Banjarmasin Pulangkan 10 Orang Terlantar

Jumat, 26 April 2024 | 14:30 WIB
X