Quo Vadis Omnibus Law Pertanahan

- Sabtu, 11 Juli 2020 | 10:41 WIB
Ilustrasi pertanahan
Ilustrasi pertanahan

Salah satu tujuan pemerintah menggulirkan omnibus law adalah untuk mendorong investasi dengan target tahun 2040 menjadi negara berpendapatan tinggi melalui sarana peningkatan investasi dan tahun 2045 menjadi lima kekuatan besar ekonomi dunia. Dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi.

==========================
Oleh: Husnayadi Herliza, SH MH
Pemerhati Pertanahan Kalsel
==========================

Permasalahan yang dihadapi selama ini adalah berupa tumpang tindih regulasi, efektivitas investasi yang rendah, tingkat pengangguran, angkatan kerja baru, pekerja informal, dan jumlah UMKM yang besar namun dengan produktivitas rendah.

Upaya melalui perubahan UU sektoral yang dilakukan secara parsial dirasakan tidak efektif dan efisien untuk menjamin percepatan cipta kerja. Diperlukan terobosan hukum melalui pembentukan UU dengan menggunakan metode omnibus law yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa UU ke dalam satu UU secara komprehensif. Keberadaannya mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus. Dalam UU tentang Pembentukan UU,memang tidak dikenal istilah omnibus law, namun keberadaannya tidaklah bertentangan dengan UU tersebut.

Dalam sejarahnya, omnibus law dikenal juga dengan nama omnibus bill, digunakan di negara dengan sistem common law, seperti Amerika Serikat. Dalam konsepsi ini, dibuat satu undang-undang baru untuk mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus. Di AS, omnibus law digunakan untuk merangkum beberapa aturan lebih kecil. Penggunaaan hukum ini terjadi untuk mendanai badan pemerintah dan mencegah penutupan layanan negara (shutdown).

Sejak abad 19, setidaknya AS tercatat sudah memiliki beberapa omnibus law. Diantaranya adalah Kompromi 1850 yang berisi lima ketentuan berbeda, dirancang oleh Senator Henry Clay dari Kentucky. Saat itu, Clay membuat kompromi tersebut guna meredam perbedaan yang bisa mengancam pemisahan diri negara bagian yang tidak melarang perbudakan. Selain itu, ada juga omnibus law 1889 yang mengatur penerimaan empat negara bagian ke AS yaitu North dan South Dakota, Montana, dan Washington.

Dalam perspektif pertanahan, Kementerian ATR/BPN turut menyusun RUU Cipta Kerja. Regulasi dimaksud bertujuan untuk mengurangi bottleneck yang dirasakan telah menghambat investasi. Setidaknya terdapat 79 UU dan 1.229 pasal yang mengganggu iklim pencipta lapangan kerja. Maka pemerintah berinisiatif untuk menyederhanakan regulasi dengan metode omnibus law. Sebab untuk mengubah sebanyak 79 UU dengan metode konvensional, jelas akan memerlukan waktu yang tidak sebentar.

Dengan demikian aturannya menjadi lebih sederhana, komprehensif dan menyeluruh mulai dari penyederhanaan perizinan, kemudahan berusaha, pengadaan tanah, serta kemudahan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi khusus. Kemudahan itu diantaranya berupa pemberian jangka waktu lebih panjang untuk HGU di atas HPL selama 90 tahun. Pemberian jangka waktu HGU dimaksud bisa diberikan bersamaan dengan perpanjangan, serta pembaruan saat pemberian hak, sehingga dirasa lebih efisien. Atau pengaturan pemanfaatan hak ruang atas tanah dan bawah tanah yang selama ini juga belum terfasilitasi.

Demikian pula, kepentingan umum yang akan diperluas cakupannya termasuk di dalamnya untuk kepentingan pengadaan tanah kawasan ekonomi khusus, kawasan objek wisata, kawasan industri, dan kegiatan hilir migas yang sebelumnya tidak masuk dalam kepentingan umum.

Menurut Maria SW Sumardjono (2020), ada 5 prasyarat yang harus dipenuhi untuk omnibus law. Pertama, stabilitas politik dan keamanan. Kedua, efisiensi pasar (kebijakan, aspek legal, pajak, akses ke sumber daya alam). Ketiga, pasar domestik yang besar. Keempat, kondisi dan stabilitas ekonomi makro. Kelima, infrastruktur, tenaga kerja, dan pasar keuangan.

Dijelaskan, omnibus law merupakan metode mengganti dan/atau mencabut ketentuan dalam UU, atau mengatur ulang beberapa ketentuan dalam UU ke dalam satu UU. Tercatat pemerintah menyasar puluhan UU dalam RUU Cipta Kerja. Selain penyederhanaan regulasi, ditekankan harmonisasi UU sektoral, sebab berkaitan dengan investasi. Misalnya, sektor sumber daya alam (SDA), hampir seluruh investasi akan membutuhkan ketersediaan tanah. Investasi yang dimaksud meliputi pariwisata, tambang, transportasi, perkebunan, produk, dan lain-lain.

Mendorong investasi dengan menyederhanakan regulasi dan perizinan jika tidak ditempuh bersamaan dengan harmonisasi UU sektoral sama saja menambah potensi konflik dan ketidakadilan dalam akses penguasaan dan pemanfaatan SDA bagi kelompok masyarakat di luar korporasi. Hal ini juga berpotensi mengakibatkan eksplorasi SDA berlebihan dan memperparah kerusakan lingkungan.

Disebutkan juga, harmonisasi regulasi sektor SDA ini telah tertuang dalam TAP MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA. TAP MPR ini menjabarkan ada UU sektoral yang saling tumpang tindih dan bertentangan satu sama lain, sehingga dibutuhkan harmonisasi UU sektoral. Sayangnya, sampai saat ini pemerintah dan DPR belum melaksanakan amanat TAP MPR tersebut.
Terkait SDA sebagai obyek investasi, program reforma agraria harus tetap terjamin pelaksanaannya secara serius. Salah satu wujudnya, RUU Hak Masyarakat Hukum Adat harus dituntaskan. Penyelesaian konflik agraria sejak era Orde Baru harus diselesaikan menyeluruh dengan membentuk lembaga independen penyelesaian konflik agraria.

Kritikan terhadap omnibus law pertanahan datang dari Iwan Nurdin (2019), Ketua Dewan Nasional KPNA, yang menyatakan para perancang RUU secara sadar telah memberikan karpet merah untuk modal asing menguasai tanah selama 90 tahun, bahkan lebih lama dari aturan masa kolonial. Hal semacam ini membahayakan, sebab tanah perkebunan atau pertanian yang masuk tersebut dapat dikuasai asing dan bisa saja untuk melayani kebutuhan pangan dan bahan baku industri bagi negara asalnya. Misalnya, negara seperti Cina atau Timur Tengah membangun sawah yang luas di negara kita, namun perusahaan tersebut sepenuhnya melayani kebutuhan beras di negaranya untuk jangka waktu 90 tahun ke depan.
Dalam konteks ini, RUU Cipta Kerja seharusnya tidak boleh mengulangi kesalahan lama, yang menjadikan modal dan pemerintah bekerja sama tanpa kontrol publik akibat dilegalkan oleh hukum dalam mengatur sumber-sumber agraria tanpa ada rencana pembangunan nasional di dalamnya. Alih-alih menciptakan lapangan kerja, justru hal itu menimbulkan ketimpangan sosial akibat perampasan tanah rakyat meluas. Ommnibus law pertanahan belum bisa memberikan jaminan adanya reforma agraria dengan mengganti dan mencabut UU lama dengan UU baru yang tertuang sesuai konsep omnibus law.
Ali Roziqin (2020) berpendapat selama ini reforma agraria di Indonesia hanya berjalan secara administratif, termasuk jika adanya omnibus law akan mengurangi konflik agraria yang disebabkan oleh tumpang tindih peraturan. Bahkan jika omnibus law ini benar-benar dilaksanakan, reforma agraria dapat dianalogikan seperti pepatah jauh panggang dari api. Bagaimana tidak? Omnibus law akan lebih banyakmenguntungkan para industri, investor dan pemilik modal. Akibatnya, masyarakat sipil akan tereduksi haknya untuk mendirikan bangunan, bercocok tanam, dan hak-hak lainnya. Pada akhirnya, revolusi bidang hukum khususnya terkait dengan kebijakan pertanahan, ini mungkin dapat digolongkan sebagai accidental policy, termasuk agenda omnibus law.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X