Rasionalitas RUU PKS

- Jumat, 24 Juli 2020 | 09:41 WIB
Sejarawan dan Direktur Eksekutif Jaringan Studi Indonesia, Haris Zaky Mubarak, MA
Sejarawan dan Direktur Eksekutif Jaringan Studi Indonesia, Haris Zaky Mubarak, MA

Pada masa adaptasi kebiasaan baru di tengah pandemi Covid-19, publik Indonesia dikejutkan dengan langkah Komisi VIII  DPR RI yang mengusulkan Rancangan Undang - Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dikeluarkan dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Alasan kuat untuk mengeluarkan RUU, karena Komisi VIII  mengalami kesulitan dan jalan buntu untuk melakukan pembahasan serta lobi – lobi dengan banyak fraksi.

============================
Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA
Sejarawan dan Direktur Eksekutif Jaringan Studi Indonesia
============================

Sejak masa DPR periode lalu, pembahasan RUU PKS  masih terbentur dalam kontekstual judul dan definisi kekerasan seksual. Selain itu, aturan mengenai besarnya pidana juga masih menjadi perdebatan yang belum menemukan titik temu. Sikap DPR ini pun menyulut reaksi dari berbagai masyarakat, mengingat semakin pemerintah dan DPR menunda, maka kekosongan hukum pada masalah kekerasan seksual akan tetap bertahan dan tak pernah berhenti. DPR  dinilai tidak memiliki komitmen dan inisiatif politik yang tinggi untuk memberikan kepastian payung hukum bagi para korban kekerasan seksual di Indonesia.

Berdasarkan data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, sepanjang tahun 2018, jumlah kekerasan seksual di Indonesia telah mencapai 348.466 kasus dan mengalami peningkatan pada tahun 2019 dengan jumlah angka 406.178 kasus. Jika melihat besarnya angka kasus kekerasan seksual, tentu menjadi ironi jika DPR tidak memberikan pelindungan nyata melalui regulasi dan payung hukum terhadap para korban kekerasan seksual.

Tarik ulur soal RUU PKS sebenarnya sudah lama menjadi topik bahasan utama yang melibatkan DPR, pemerintah dan pemerhati kekerasan seksual. RUU PKS ini sendiri awalnya diusulkan oleh anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR. Komisi VIII mendapat tugas untuk menyelesaikannya. Pembahasan pertama RUU PKS ini dilakukan pada 25 Oktober 2016, dimana dalam poin awal RUU PKS adalah untuk menyelesaikan masalah kekerasan seksual.

Perkembangan selanjutnya berjalan pada rapat kelima di Baleg pada 31 Januari 2017 yang substansi kesepakatannya menyatakan RUU PKS disetujui seluruh fraksi DPR agar diteruskan dan dibawa ke pembahasan tingkat I. Pada pembahasan yang melibatkan rapat DPR dengan pemerintah diwakili oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Menteri Hukum dan HAM. Semuanya menyetujui adanya pembentukan panitia kerja untuk membahas kelanjutan RUU PKS pada tahun 2018.

Tahun 2018, Panja RUU PKS berlanjut dengan mendengarkan pendapat para ahli. Pada tahap ini pembahasan mulai menemui jalan berliku. Beberapa anggota DPR mulai mempermasalahkan hal-hal di luar pelindungan pada korban kekerasan seksual. Diantaranya masalah agama dan kaum marjinal dengan orientasi seksual berbeda seperti kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). RUU ini pun dianggap oleh sebagian anggota DPR condong atau mengakomodasi kepentingan eksistensi LGBT.
Tak hanya sampai di situ, persoalan krusial terkait pemidanaan terhadap suami yang dianggap pemerkosaan terhadap istri karena tak mau melakukan hubungan seksual, juga menjadi hal yang menciderai aturan hukum berumah tangga secara agama dan normatif. Banyaknya perbedaan pemahaman inilah yang membuat DPR melalui Komisi VIII merasa perlu untuk mengeluarkan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas pada tahun 2020.

Wajar saja jika banyak pihak menganggap penghentian pembahasan RUU PKS ini merupakan bentuk ketidakmauan dari DPR memberikan hak pelindungan bagi para korban kekerasan seksual dan memberikan keadilan bagi korban. Dalam rapat kerja Baleg DPR RI, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Baleg, dan Panitia Perancang UU DPR sepakat RUU PKS akan dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020.

Dalam perspektif pemerintah, RUU PKS ini dikatakan masih menunggu pengesahan Rancangan Undang – Undang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang sangat terkait pada sisi penjatuhan sanksi. Pemerintah pun berharap bahwa setelah RUU KUHP diselesaikan antara pemerintah dan Komisi III, DPR maka RUU Kekerasan seksual ini dapat dimasukan lagi dalam Prolegnas nasional.

Jika menilik sejarah, sejak era kolonial konteks kekerasan seksual selalu saja menimbulkan dampak buruk, utamanya bagi para korban kekerasan seksual. Pada masa Hindia Belanda misalnya, banyak para pejabat tinggi kolonial yang kedapatan melakukan kekerasan seksual terhadap pribumi yang mereka jadikan nyai ataupun menjadi wanita simpanan.

Reggie Baay dalam tulisan “De Njai, Concubinaat in Nederlands - Indiè (2009)” memotret semua ketidakadilan korban yang mengalami kekerasan seksual dan menjadi bagian dari proses kehidupan pergundikan yang diterapkan kehidupan masyarakat kolonial.

Pada masa Jepang kekerasan seksual juga marak terjadi dan memberi istilah populer di tengah pribumi dengan nama “Jugun Ianfu”. Pada masa Jepang di Indonesia tahun 1942-1945 juga terjadi eksploitasi besar terhadap perempuan yang dijadikan objek kekerasan seksual bagi tantara Jepang. Secara empiris dapat kita kaji bagaimana kekerasan seksual menjadi masalah lama yang sangat mandarah daging.
Kini, kita telah sampai pada upaya rasional besar dalam melawan kekerasan seksual melalui perangkat hukum dan aturan sah yang nantinya akan menghentikan suburnya praktik kekerasan seksual. Jika berdasarkan pada substansinya, RUU PKS sangat dibutuhkan untuk melindungi korban pelecehan seksual, sehingga semestinya tak akan menjadi masalah jika RUU PKS ini diselesaikan lebih dulu dari RKUHP. DPR dapat menyelaraskan RKUHP dengan UU PKS jika aturan pidananya tumpang tindih.
Dalam RUU PKS ini diatur 9 jenis kekerasan seksual, diantaranya eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Sedangkan dalam RKUHP hanya diatur soal perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan kehamilan, dan pemandulan atau sterilisasi secara paksa. Artinya RUU PKS ini lebih bersubstansi khusus dibandingkan dengan RKUHP.

Kita menyadari RKUHP merupakan bagian penting dan harus menjadi acuan pidana. Tapi yang tetap harus dipahami bersama, RUU PKS ini harus diperlakukan sebagai  “lex specialis”,  karena berdasarkan asas “lex specialis derogat legi generalis”,  maka setiap aturan hukum khusus dapat mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum. Oleh karena itu sangat penting jika kemudian pengesahan RUU PKS ini dapat memberi pelindungan besar atas ancaman kekerasan seksual bagi publik. (*/ema)

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pertanyakan Konsistensi Dinas PUPR

Selasa, 23 April 2024 | 08:45 WIB
X