Tak Teliti, Berujung Kerugian di Tes CPNS

- Senin, 27 Juli 2020 | 08:53 WIB
Zayanti Mandasari, Asisten Bidang Pecegahan Maladministrasi Ombudsman RI Kalsel
Zayanti Mandasari, Asisten Bidang Pecegahan Maladministrasi Ombudsman RI Kalsel

Menjadi PNS/ASN merupakan salah satu impian banyak orang di Indonesia. Hal ini terindikasi dari banyaknya jumlah pelamar dalam setiap pelaksanaan tes CPNS. Misalnya pada akhir tahun 2019 lalu, Badan Kepegawaian Nasional (BKN) menyampaikan, jumlah pelamarsebanyak 5.056.585 orang. Jumlah ini naik dibandingkan data tahun 2018, yakni mencapai 4.436.694 pelamar.

====================
Oleh: Zayanti Mandasari
Asisten Bidang Pecegahan Maladministrasi Ombudsman RI Kalsel
====================

Selain motivasi untuk mengabdi pada negara, kemungkinan besar alasan lain orang berlomba-lomba untuk menjadi ASN, karena adanya jaminan hari tua (hak pensiun). Bagaimana tidak, dengan hak pensiun jaminan hari tua dari segi materi semakin pasti, walau tak lagi bekerja sebagai ASN, namun tetap mendapatkan gaji tiap bulannya.

Tingginya ekspektasi mendapatkan hak pensiun, khususnya bagi ASN yang telah mencapai batas usia pensiun (BUP), menyebabkan pensiunan ASN datang ke kantor Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Selatan, untuk menyampaikan pengaduan atas dugaan diskriminasi pemberian hak pensiun. Hal tersebut disampaikan oleh 3 orang pensiunan di ASN di salah satu daerah di Kalsel di akhir tahun 2019.

Ketiganya diberhentikan dengan hormat sebagai ASN karena telah mencapai BUP, namun masa kerja ketiganya sebagai ASN belum mencapai 5 tahun. Sehingga keluar surat dari Kepala BKN, bahwa ketiganya tidak berhak menerima pensiun. Namun rekan pensiunan PNS yang mencapai BUP lainnya, mendapatkan hak pensiun, padahal masa kerjanya juga belum mencapai 5 tahun, dan yang bersangkutan menerima hak pensiunan bulanan, berdasarkan Keputusan Kepala BKN.

Pengaduan yang sama kembali terulang, hanya berjeda tiga minggu. Pelapor adalah pensiunan dari daerah lain, yang juga berada di Kalsel. Pelapor adalah ASN yang telah mencapai BUP, dengan masa kerja 4 tahun 5 bulan. Ia diberhentikan dengan hormat sebagai ASN tanpa hak pensiun. Namun, ada ASN yang juga mencapai BUP, dan masa kerja tidak mencapai 5 tahun, mendapatkan hak pensiun setiap bulannya.

Dari permasalahan tesebut, masing-masing pelapor telah melayangkan pengaduan ke kantor BKN. Namun belum mendapatkan penjelasan yang memadai. Melihat pengaduan serupa tersebut, besar dugaan bahwa hal tersebut terjadi karena ketidaktelitian, yang berujung pada anggapan diskriminasi dalam pemberian hak pensiun di kalangan ASN. Tentunya hal tersebut dapat memicu timbulnya polemik di lingkungan ASN, khususnya pensiunan.

Sejatinya hak pensiun merupakan ‘apresiasi’ kepada ASN karena telah mengabdikan dirinya kepada negara. Secara umum, pemerintah memberikan hak pensiun didasarkan pada UU No 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan PensiunJanda/DudaPegawai, khususnya Pasal 6 Ayat (3) yakni ‘waktu menjalankan suatu kewajiban negara dalam kedudukan lain daripada sebagai pegawai negeri, dihitung penuh apabila yang bersangkutan pada saat pemberhentiannya sebagai Pegawai Negeri Sipil telah bekerja sebagai Pegawai Negeri sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun’. Lebih lanjut dalam Pasal 305 Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, juga disebutkan jaminan pensiun diberikan kepada PNS yang diberhentikan dengan hormat karena mencapai batas usia pensiun apabila telah memiliki masa kerja untuk pensiun paling sedikit 10 (sepuluh) tahun.

Jika melihat ketentuan tersebut, secara normatif wajar memang jika pelapor sebagai pensiunan ASN yang BUP, tidak mendapatkan hak pensiunnya, karena belum mencapai masa kerja paling sedikit lima tahun. Namun yang menjadi titik permasalahan adalah bagaimana dengan pensiunan lain yang mendapatkan hak pensiun? Jika dibandingkan, terlihat jelas terjadi diskriminasi antara pelapor dan rekan pensiunan lain, karena BKN terlihat memberlakukan hal berbeda dalam kondisi yang sama terhadap pensiunan ASN. Ya sama-sama pensiun dan belum mecapai masa kerja 5 tahun.

Mekanisme pemberian hak pensiun bagi ASN yang BUP, sebenarnya ditetapkan oleh Presiden atau PPK setelah mendapat pertimbangan teknis kepala BKN. Kemudian yang menjadi pertanyaan, kenapa ada perbedaan pemberian hak pensiun kepada ASN yang pensiun. Tentunya ada sesuatu yang salah dalam proses pertimbangan teknis oleh kepala BKN. Hal ini diketahui karena, dari kedua laporan di atas, BKN kemudian melakukan pembatalan atas hak pensiun yang diterima oleh ASN yang belum mencapai masa kerja 5 tahun, dan SK Pensiun ASN dengan hak pensiun tersebut dinyatakan tidak berlaku.

Tindak lanjut BKN hanya sampai menyatakan SK pensiun tersebut tidak berlaku, padahal dari ketidaktelitian penetapan hak pensiun tersebut dapat menyebakan beberapa dampak

Pertama, menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap hak pensiun. Bayangkan betapa terkejutnya pensiunan ASN yang tadinya setiap bulannya menerima hak pensiun, tiba-tiba tidak lagi menerima sebagaimana biasanya. Pasti akan menjadi polemik. Bahkan merasa dirugikan, walaupun memang sesungguhnya bukan hak yang bersangkutan. Bahkan tidak ada tanggung jawab moral dari petugas, misalnya dengan meminta maaf, baik kepada ASN yang hak pensiunnya ‘dicabut’ataupun kepada ASN yang merasa terdiskriminasi tersebut.

Kedua, tentu ada kerugian negara dalam kesalahan tersebut. Karena uang negara dibayarkan kepada orang yang sebenarnya tidak berhak mendapatkannya. Sedangkan ketentuan yang berlaku, mewajibkan hak pensiun dibayarkan hanya kepada ASN yang berhak atas hak pensiun. Lantas bagaimana mekanisme penggantian kerugian tersebut? Apakah pensiunan yang menerima berkewajiban untuk mengembalikan (walaupun atas kesalahan BKN memberikan pertimbangan teknis), atau ditanggung oleh BKN sebagai bentuk pertanggungjawaban ketidaktelitian dalam bekerja, atau bahkan dianggap tidak pernah terjadi permasalahan. Lantas apa sanksi bagi ketidaktelitian yang menyebabkan ketidakpastian tersebut.

Ketiga, pengaduan tersebut dapat saja menimbulkan preseden buruk terhadap citra pengelolaan administrasi pemerintah, khususnya kepegawaian. Tentunya apabila tidak diperbaiki, pandangan buruk tersebut dapat merambah bidang-bidang lainnya. Bahkan lambat laun akan merugikan keuangan negara baik secara langsung ataupun tidak. Hal lebih buruk juga dapat terjadi. Misalnya semakin tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam hal pengelolaan administrasi negara bisa semakin menurun.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Rem Blong, Truk Solar Hantam Dua Rumah Warga

Kamis, 28 Maret 2024 | 19:00 WIB

Masalah Pendidikan Jadi Sorotan Ombudsman

Kamis, 28 Maret 2024 | 16:50 WIB

Gempa 3,3 Magnitudo Guncang Kotabaru

Kamis, 28 Maret 2024 | 15:58 WIB
X