Zona Hijau Banjarmasin Beri Rasa Aman Palsu

- Senin, 27 Juli 2020 | 10:23 WIB
DICEK DULU: Seorang pengunjung mall di Banjarmasin diperiksa sebelum masuk. Banjarmasin menetapkan zona hijau di beberapa kecamatan meski secara keseluruhan kasus belum menurun. | FOTO: WAHYU RAMADHAN/RADAR BANJARMASIN
DICEK DULU: Seorang pengunjung mall di Banjarmasin diperiksa sebelum masuk. Banjarmasin menetapkan zona hijau di beberapa kecamatan meski secara keseluruhan kasus belum menurun. | FOTO: WAHYU RAMADHAN/RADAR BANJARMASIN

BANJARMASIN - Penetapan zona hijau di beberapa kelurahan di Kota Banjarmasin disayangkan Ketua Tim Pakar Percepatan Penanganan Covid-19 Kalsel, Iwan Aflanie. Dia mengatakan hal itu berpotensi memberikan rasa aman palsu kepada warga.

Pemko Banjarmasin sendiri menetapkan, dari total 52 kelurahan di Banjarmasin, ada enam kelurahan yang menyandang status zona hijau Covid-19. Kelurahan tersebut adalah Kertak Baru Ulu, Kertak Baru Ilir, Alalak Tengah, Kelayan Luar, Mawar dan Pemurus Baru.

Alasan pemko menetapkan zona hijau seperti yang disampaikan oleh juru bicara gugus tugas Covid-19 Banjarmasin, Machli Riyadi karena di kelurahan tersebut tak ada lagi temuan kasus baru Covid-19 sementara kasus lama sudah sembuh semua.

Menariknya, penetapan tersebut status zona hijau tersebut, bagi Iwan tak sepenuhnya disepakati. Dipaparkan Iwan, tujuan utama dari penetapan zonasi resiko Covid-19 adalah untuk melindungi masyarakat dari bahaya dan resiko Covid-19 itu sendiri.

Mengacu pada navigasi zona resiko Covid1-19 yang dikeluarkan olah Gugus Tugas Nasional Covid-19, terdapat empat indikator warna untuk menggambarkan tingkat resiko. Yakni, merah untuk resiko tinggi, orange untuk resiko sedang, kuning untuk resiko rendah dan hijau untuk terkendali. 

Indikator warna ini bertujuan sebagai panduan kewaspadaan bagi pemerintah dan masyarakat, disamping itu dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan diberbagai sektor, termasuk ekonomi. Ketidakcermatan dan kekeliruan dalam penetapan zona resiko berpotensi menyebabkan kekeliruan dalam pengambilan kebijakan.

Dia menggarisbawahi, kekeliruan dalam penetapan zona resiko akan memberikan dampak yang besar pada masyarakat. “Suatu wilayah yang seharusnya berstatus merah namun ditetapkan sebagai zona hijau akan menyebabkan timbulnya rasa aman palsu bagi masyarakat. Perasaan aman palsu ini akan menyebabkan mereka melonggarkan penerapan protokol kesehatan. Tentunya hal ini sangat berbahaya,” sebut pria yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik FK ULM itu

Di sisi lain sebutnya, penepan zona apalagi hijau per kelurahan menjadi tidak lagi relevan dikala telah terjadi transmisi yang masif dalam suatu wilayah kota/kabupaten. Resiko Covid-19 terangnya melekat pada populasi bukan pada wilayahnya. Transmisi yang terjadi disebabkan oleh adanya pergerakan orang.

Dia menambahkan, suatu kelurahan yang sudah ditetapkan hijau tidak serta merta mencerminkan daerah tersebut telah terkendali. “Kecuali pergerakan keluar masuk orang pada daerah tersebut telah dapat dikendalikan dan terpantau dengan jelas,” cetusnya.

Penetapan zona resiko berdasarkan warna ini termuat dalam Kepmendagri (ditujukan untuk ASN Kemendagri) dan navigasi zona resiko yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas Covid-19. Sementara itu Revisi kelima dari Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tidak memuat zona resiko.

Tentunya kurang relevan bila mengaitkan secara langsung revisi kelima Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 dengan zonasi warna pada suatu wilayah.

Dia menambahkan, revisi kelima Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 hanya memuat istilah terkendali. Untuk berstatus terkendali suatu wilayah harus dinilai dalam tiga parameter yang sangat ketat. Ketiga parameter tersebut adalah aspek epidemiologi, aspek pelayanan kesehatan dan aspek surveilans yang terbagi-bagi lagi kedalam berbagai indikator capain. “Harus diakui, tidaklah mudah untuk merubah status zona merah menjadi terkendali berdasarkan pedoman tersebut,” tambahnya.

Pada banyak daerah penggunaan zonasi sampai saat ini masih dilakukan dan istilah zona hijau berdasarkan pedoman Navigasi Zona Resiko yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas Covid-19, masih relevan dengan istilah terkendali. “Secara sederhananya zona hijau berarti dalam suatu wilayah tidak pernah ada kasus atau pernah ada kasus, namun tidak terjadi penambahan kasus baru dalam 4 Minggu terakhir dan angka kesembuhan 100 persen,” jelas Iwan.

Pergerakan angka statistik juga patut menjadi perhatian, mengingat penetapan zona berpatokan pada pergerakan angka-angka. Dimana, jika pada suatu daerah mengurangi upaya pelacakan atau bahkan tak lagi dilakukan pelacakan, memang akan terjadi penurunan kasus, bahkan kasus Covid-19 bisa menjadi nol atau tidak ditemukan. “Dalam dunia riset dan statistik hal ini seringkali disebut sebagai false negatif atau negatif palsu. Sangat berbahaya,” ingatnya.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X