Mengkritisi Rangkap Jabatan

- Senin, 10 Agustus 2020 | 09:16 WIB
Muhammad Firhansyah, Asisten Muda Ombudsman Republik Indonesia dan Kepala Keasistenan PVL Ombudsman RI Perwakilan Kalsel.
Muhammad Firhansyah, Asisten Muda Ombudsman Republik Indonesia dan Kepala Keasistenan PVL Ombudsman RI Perwakilan Kalsel.

Pro kontra adanya rangkap jabatan dan rangkap penghasilan pejabat publik/negara beberapa bulan terakhir kembali hangat dibahas publik. Menurut catatan Ombudsman RI tahun 2017, terdapat 222 komisaris BUMN dan unit usaha dari 541 komisaris yang rangkap jabatan. Bukan hanya itu, rangkap jabatan juga ada yang berasal dari TNI/Polri, akademisi perguruan tinggi, kementerian , termasuk di pemerintahan daerah.

========================
Oleh: Muhammad Firhansyah
Asisten Muda Ombudsman Republik Indonesia
Kepala Keasistenan PVL Ombudsman RI Perwakilan Kalsel
========================

Sedangkan data Ombudsman di tahun 2019, ada 397 komisaris terindikasi rangkap jabatan di BUMN dan 167 komisaris di anak perusahaan BUMN. Ini otomatis diduga kuat rangkap penghasilan, bahkan dari analisis Ombudsman dengan KPK menggunakan metode profiling terhadap 281 komisaris yang aktif dengan monitoring berdasarkan rekam jejak karir, pendidikan dan jabatan, ditemukan 138 komisaris (49 %) tidak sesuai dengan kompetensi teknis (tidak sesuai kompetensi dimana mereka ditempatkan), dan 91 komisaris (32 %) berpotensi konfilk kepentingan.

Bagi Ombudsman, kondisi ini menimbulkan sejumlah potensi maladministrasi serius dalam sistem pelayanan publik. Diantaranya konfilk kepentingan, tidak transparan, diskriminatif dan tidak akuntabel.
Selain itu, terindikasi kuat terjadi benturan antarregulasi (konfilk norma) akibat batasan yang tidak tegas, tafsir yang meluas dan berbeda-beda, pelanggaran terhadap regulasi pelarangan rangkap jabatan (level UU, PP maupun Peraturan Menteri), sistem rekrutmen komisaris BUMN yang kurang transparan, kurang akuntabel dan diskriminatif, serta tidak didasarkan pada prinsip imbalan atau basis kinerja yang wajar dalam hal rangkap penghasilan.

Menyikapi hal ini, Ombudsman telah menyampaikan saran kepada Presiden RI Joko Widodo. Pertama memerintahkan menteri BUMN untuk melakukan perbaikan pada peraturan menteri BUMN, baik mengenai proses rekrutmen, penetapan kriteria komisaris sampai pada pertanggungjawaban kinerja yang terukur.

Kedua, melakukan evaluasi cepat dan memberhentikan para komisaris yang rangkap jabatan dan secara eksplisit bertentangan dengan hukum yang berlaku. Ketiga menyarankan untuk menerbitkan perpres yang substansinya memperjelas batasan dan kriteria dalam penempatan jabatan struktural dan fungsional aktif sebagai komisaris BUMN yang berlandaskan kompetensi dan tanpa konfilk kepentingan, serta pengaturan sistem penghasilan tunggal bagi perangkap jabatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang.

Saran Ombudsman tersebut muncul dimulai dari banyaknya laporan dan keluhan publik terkait BUMN dan BUMD yang masuk selama tiga tahun terakhir yang angkanya semakin meningkat (2018-2020). Sebanyak 575 laporan (2018), 1090 laporan (2019) dan 1437 (tahun 2020 sampai bulan Juni). Dengan klasifikasi maladministrasi seperti penyimpangan proseur, penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, tidak kompeten, tidak patut dan tidak memberikan pelayanan.

Isu substansi yang disampaikan sangat beragam. Mulai dari isu komisaris berasal dari relawan politik, penempatan anggota TNI/Polri aktif, penempatan ASN aktif dalam anak perusahaan BUMN, pengurus parpol yang diangkat menjadi komisaris BUMN, sampai pada dominasi jajaran direksi dan komisaris yang berasal dari bank BUMN tertentu.

Semua temuan tersebut menjadi kajian yang dibahas secara rinci bagi lembaga pengawas pelayanan publik ini (Ombudsman). Tentunya tak semuanya sepakat, sebab ada saja pihak yang menyebutan bahkan rangkap jabatan dan penghasilan adalah hal yang wajar.

Mengkritisi soal ini, penulis mengutip pernyataan dari ketua KPK periode lalu, Agus Rahardjo. Bahwa seseorang dengan dua jabatan pasti akan mengalami benturan kepentingan dari jabatannya. Benturan kepentingan tersebut menjadi akar dari adanya kecurangan yang tentu saja sudah menjadi bagian dari praktik korupsi. (sumber https://www.pinterpolitik.com/polemik-rangkap-jabatan-pejabat-publik/).
Hemat penulis, rangkap jabatan dan penghasilan bagi pejabat publik negara sangat berisiko terhadap pelanggaran hukum dan undang- undang, setidaknya aturan dalam sejumlah UU. Seperti Pasal 17 huruf a UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pasal 47 UU 34 Tahun 2004 tentang TNI, Pasal 28 ayat 3 UU 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, Pasal 33 huruf b UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, ditambah sejumlah peraturan menteri.

Dari sisi lainnya yang akan menjadi problem bagi publik adalah terkait moral, etika dan efektivitas. Sejumlah potret atas pejabat rangkap jabatan berasal dari bagi-bagi “kekuasaan” dan politik praktis hanya akan menyisakan ketidakadilan dan diskriminatif. Belum lagi hasil kinerja yang tidak signifikan (buruk) dan tidak dirasakan sendiri oleh publik maslahat dan manfaatnya. Dan ini acap kali menjadi realitas dalam beberapa tahun terakhir.

Untuk itu, persoalan rangkap jabatan dan rangkap penghasilan harusnya menjadi kajian serius oleh negara untuk segera dituntaskan,. Apakah benar dari 260 juta lebih penduduk Indonesia, hanya mereka yang ratusan orang itu saja yang lebih pantas dan lebih profesional, berintegritas dan memiliki moral etika yang baik, karena mereka dekat dengan penguasa? Atau seperti biasa obrolan rakyat jelata , bahwa siapa yang berkuasa merekalah yang berhak bagi bagi kuasa, tapi akhirnya rakyat juga yang sengsara? (*/ema)

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kebakaran, Duit Sisa THR Ikut Hangus

Sabtu, 20 April 2024 | 09:15 WIB
X