Poros Sesat

- Kamis, 27 Agustus 2020 | 11:52 WIB

BILA murid salah, guru akan meluruskan. Jika wartawan keliru, pembaca yang meralat.

============================
Oleh: Muhammad Syarafuddin
Editor Metropolis Radar Banjarmasin
============================

Syukur kalau cuma ditegur. Bagaimana kalau kena bully?

Sejak koran atau majalah berpindah ke digital, memberi umpan balik kian mudah. Tinggal klik kolom komentar. Tak perlu repot mengepos surat pembaca ke kantor redaksi.

Bedanya, surat pembaca ditulis dengan nada santun dan disertai identitas jelas. Sedangkan kolom komentar cenderung brutal dengan akun alias.

Sebenarnya, mayoritas kekhilafan mudah dikenali editor. Jadi takkan sampai ke mata pembaca.

Beberapa memang agak tersembunyi, tak sengaja diloloskan. Tapi masih bisa dimaklumi dan dikoreksi.

Namun, ada kesalahan yang tidak disadari. Baik oleh jurnalis, bahkan oleh pembaca. Hingga kesalahan berjemaah itu dianggap lumrah.

Contoh, menjelang Pilkada serentak 9 Desember, halaman atau tayangan media diramaikan berita politik.

Berita si anu ternyata berpasangan dengan si anu. Si anu lagi membujuk partai anu agar mau mendukung. Si anu akhirnya lolos verifikasi dari jalur independen. Si anu merana karena tak bisa ikut pemilihan. Bla-bla-bla. Anu-anu-anu.

Coba amati judul dan isi berita yang berseliweran. Ada satu kesamaan. Yaitu latah istilah "poros". Seolah kalau tak dipakai, berita politiknya kurang afdal.

Entah siapa yang memulai. Wartawan atau narasumber. Apakah wartawan memaksakan istilah itu dalam pertanyaan selama wawancara. Atau wartawan yang menelan bulat-bulat pernyataan narasumber.

Yang pasti, istilah poros kini dipakai banyak media di Banjarmasin. Bertebaran pada banyak berita. Lantas, di mana letak kesalahannya?

Istilah poros sebenarnya tak asing dalam sejarah Indonesia. Seusai reformasi, Amien Rais membangun Poros Tengah. Gabungan partai-partai Islam di parlemen.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X