Antara Calon Tunggal dan Kotak Kosong

- Jumat, 28 Agustus 2020 | 11:28 WIB
M Rezky Habibi R, Mahasiswa Magister Hukum ULM dan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Demokrasi (PuSdiKraSi) Banjarmasin
M Rezky Habibi R, Mahasiswa Magister Hukum ULM dan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Demokrasi (PuSdiKraSi) Banjarmasin

KEMELUT soal pencalonan kepala daerah selalu menjadi topik hangat di setiap mendekati hari “H”. Pemberitaan soal tokoh siapa, partai pengusung mana, hingga bakal calon perseorangan siapa, yang akan bertarung merebut mahkota kepala daerah, menjadi diskursus yang tidak berkesudahan. Terutama dengan melihat cairnya langgam proses politik daerah itu sendiri.

=============================
Oleh: M Rezky Habibi R
Mahasiswa Magister Hukum ULM
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Demokrasi (PuSdiKraSi) Banjarmasin
=============================

Pada Pilkada Serentak gelombang pertama tahun 2015 muncul fenomena baru, dimana beberapa daerah yang melaksanakan pilkada hanya mempunyai satu pasangan calon (baca; calon tunggal). Potensi kebuntuan demokrasi lokal inilah yang melandasi lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 100/PUU-XIII/2015 yang membuka kran pilkada dapat dilaksanakan kendati hanya ada calon tunggal yang bertarung melawan kolom kosong. Tentu saja putusan MK tersebut harus dibaca dalam konteks sebagai bentuk upaya MK untuk melindungi dan menjamin hak konstitusional warga daerah. Khususnya hak untuk dipilih dan hak untuk memilih warga daerah yang tidak boleh diabaikan apabila ditiadakan, hanya karena ketiadaan dua pasangan calon yang bertarung.

Setelah munculnya putusan MK tersebut, fenomena calon tunggal di setiap perhelatan pilkada menunjukkan tren peningkatan. Dari data yang penulis himpun, terlihat adanya peningkatan jumlah, yakni dari angka 3 pada tahun 2015, 9 pada tahun 2017 dan 16 pada tahun 2018. Jika mencermati tren tersebut, maka tidak menutup kemungkinan pada pilkada serentak 2020 tren pilkada hanya dengan calon tunggal juga mengalami peningkatan jumlah. Terlebih pelaksanaan pilkada 2020 yang dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19, menjadi pertimbangan sulit bagi bakal calon dalam melawan sang petahana yang diuntungkan melalui program bansos.

Jika dicermati, secara garis besar setidaknya terdapat dua faktor yang mendorong munculnya calon tunggal. Pertama, muncul sebelum adanya penetapan pasangan calon oleh KPU/KIP Provinsi, Kabupaten atau Kota (baca; KPU). Kedua, calon tunggal muncul sesudah adanya penetapan pasangan calon oleh KPU.

Terkait faktor pertama, fenomena borongan partai politik atau koalisi gemuk untuk mengusung bakal pasangan calon menjadi penyebab utama munculnya calon tunggal yang didukung kekuatan finansial, baik dari si pasangan calon maupun faktor orang kuat lokal (local strong men) yang menjadi pemerintah bayangan. Ia dapat mengkonsolidasikan parpol untuk mendapatkan kursi dukungan penuh, khususnya memiliki koneksi di elit politik di tingkat pusat untuk mendapatkan rekomendasi (baca; surat sakti).
Gejala borongan parpol atau koalisi gemuk yang ditopang oleh kekuatan finansial si pasangan calon dan faktor orang kuat lokal (local strong men) juga dibarengi dengan praktik mahar politik yang sudah menjadi pengetahuan umum, untuk mendapatkan dukungan partai politik. Tentu saja praktik-praktik seperti ini akan sulit bagi calon yang tidak memiliki modal finansial yang cukup untuk mendapatkan dukungan partai politik, tanpa kemampuan membayar mahar politik. Oleh karenanya, ungkapan lama tentang mahalnya biaya demokrasi selalu relevan hingga hari ini.

Terkait praktik borongan partai politik atau koalisi gemuk, serta mahar politik, secara bersamaan juga menunjukkan gagalnya parpol dalam menjalankan fungsi sebagai sarana rekrutmen politik (Miriam Budiardjo,2007). Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar, apakah parpol tidak memiliki kader-kader terbaik yang dapat diajukan sebagai calon untuk masuk ke bursa kepemimpinan daerah? Ataukah lebih memilih tindakan pragmatis dengan mendukung calon yang memiliki kekuatan finansial dan didukung oleh orang kuat lokal agar mendapatkan akses kekuasaan di daerah?

Bahkan tidak hanya fenomena koalisi gemuk serta praktik mahar politik yang mendorong lahirnya calon tunggal. Turut andil pula beratnya syarat yang harus dipenuhi oleh bakal pasangan calon untuk maju menjadi calon kepala daerah. Pasal 40 ayat (1) UU 10 Tahun 2016 menyebutkan bahwa syarat menjadi calon kepaladaerah dari jalur partai politik harus memperoleh 20% jumlah kursi di DPRD atau 25% perolehan suara partai politik.

Sementara itu, dalam pasal 41, syarat berat juga dialami warga daerah yang ingin maju melalui jalur calon perseorangan (indenpenden). Ia harus mampu mengumpulkan salinan E-KTP 6,5% sampai 10% dari total jumlah penduduk. Syarat yang tentu tidak mudah untuk maju melalui jalur perseorangan melawan pasangan calon dari partai politik. Padahal pada prinsipnya, munculnya aturan hukum yang mengakomodir alternatif untuk menjadi kepala daerah melalui jalur calon perseorangan, sebagaimana putusan MK No. 05/PUU-V/2007 merupakan jalan tengah untuk mengimbangi eksis partai politik sebagai infrastruktur politik yang sebelumnya menjadi satu-satunya saluran untuk menjadi kepala daerah.
Fakta empirik Pilkada 2018 menunjukan, dari 16 penyelenggaraan pasangan calon tunggal, hanya 1 bakal calon dari jalur perseorangan yang berhasil mengumpulkan dukungan salinan E-KTP, yakni calon Walikota Makassar. Itupun karena didukung latar belakangnya sebagai petahana Walikota. Dengan kata lain, mayoritas calon perseorangan pada Pilkada 2018 banyak dinyatakan tidak memenuhi syarat ketika dilakukan verifikasi faktual dan berdasarkan hasil penetapan KPU.

Sedangkan faktor kedua, sesudah adanya penetapan pasangan calon, adalah fenomena terjadinya pelanggaran. Munculnya calon tunggal justru juga terjadi karena terbukti melakukan pelanggaran penyalahgunaan kekuasaan dan penyalahgunaan kewenangan sebagaimana diatur dalam pasal 71 UU 10 Tahun 2016, dengan mendapatkan sanksi diskuasifikasi sebagai pasangan calon. Seperti yang terjadi pada Pilkada Makassar 2018, didiskualifikasi dari pencalonan oleh Mahkamah Agung. Lebih dari itu, tren calon tunggal juga muncul dengan berakhirnya melalui sengketa proses di Bawaslu provinsi, kabupaten maupun kota (baca; Bawaslu).

Dengan demikian, potensi calon tunggal tidak hanya sebelum adanya penetapan pasangan calon oleh KPU, akan tetapi munculnya calon tunggal juga dapat terjadi setelah adanya penetapan pasangan yang terbukti melakukan pelanggaran Pasal 71 UU 10 Tahun 2016, maupun melalui sengketa proses di Bawaslu.

Dalam konteks pilkada dengan calon tunggal, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana memastikan terlaksananya prinsip keadilan pada tahapan kampanye. Khususnya kampanye yang difasilitasi oleh KPU. Misalnya penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga kampanye (APK), hingga pengiklanan di media massa cetak dan elektronik. Tentu saja kampanye yang difasilitasi oleh KPU ini agak sukar dalam memberikan hak yang sama bagi calon tunggal dan kolom kosong secara berkeadilan. Sehingga menjadi pekerjaan yang tidak mudah bagi Bawaslu dalam pengawasi. Terlebih agar keadilan dapat tercemin, baik bagi calon tunggal maupun kolom kosong itu sendiri.

Bahkan, yang paling krusial adalah tidak dilaksanakannya debat kandidat. Metode kampanye melalui debat kandidat merupakan bagian terpenting dalam memberikan pendidikan politik terhadap warga daerah, serta menjadi ajang pertukaran ide, gagasan dan dialog antar pasangan calon untuk meyakinkan pemilih.

Oleh sebab itu, pilkada dengan calon tunggal ini tentu tidak mencerminkan esensi demokrasi modern yang syarat akan kompetisi. Terlebih lagi jika menggunakan aspek internasional untuk mengukur kadar pilkada demokrastis. Satu dari 15 aspek tersebut adalah kampanye yang demokratis (Internasional IDEA, 2004). Pertanyaannya, bagaimana mungkin kampanye yang difasilitasi KPU dapat benar-benar berjalan demokratis bagi kolom kosong?

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Investor Masuk, Orientasi PAM Bandarmasih Berubah?

Senin, 15 April 2024 | 17:00 WIB

Liburan di HST, Wisata Air Jadi Favorit Pengunjung

Senin, 15 April 2024 | 14:00 WIB

Libur Lebaran, 2 Kecelakaan Maut di Banjarmasin

Senin, 15 April 2024 | 12:10 WIB
X