Bu Tejo dan Literasi Sosial

- Selasa, 1 September 2020 | 16:08 WIB
Haris Zaky Mubarak, MA, Sejarawan dan Direktur Jaringan Studi Indonesia
Haris Zaky Mubarak, MA, Sejarawan dan Direktur Jaringan Studi Indonesia

Tokoh Bu Tejo dalam film pendek “Tilik” menjadi begitu fenomenal dalam beberapa hari ini dan tengah menjadi perbincangan hangat bagi warganet. Sosok Bu Tejo yang kerap menggunjing dan menyebarkan rumor informasi yang didapat dari internet membuatnya dianggap sebagai figur yang menyebalkan.

=============================
Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA
Sejarawan dan Direktur Jaringan Studi Indonesia
=============================

Hal ini pun selalu diingatkan Yu Ning yang menjadi tokoh dalam film tersebut. Menurut Yu Ning, informasi yang didapat di internet belum tentu benar dan harus diverifikasi terlebih dahulu.

Bergosip, bergunjing atau gibah memang sangat dekat dengan kehidupan nyata masyarakat Indonesia. Membicarakan kejelekan orang lain itu mudah. Bahkan di zaman canggih seperti sekarang, aktivitas bergosip, menggunjing dan gibah itu tak lagi dilakukan melalui tatap muka secara langsung, tapi sudah "berpindah" ke media digital.

Melalui banyak forum grup aplikasi Whatsapp (WA) atau chat pribadi lainnya, banyak orang  merasa perlu untuk aktif dalam aktivitas menggunjing segala urusan orang lain tanpa mempedulikan etika, kesopanan dan kenyamanan mereka yang berada dalam grup percakapan tersebut.

Seperti halnya Bu Tejo, kebiasaan untuk bergosip dan menggunjingkan orang lain melalui ponsel pintar (smartphone) sudah menjadi aktualisasi baru yang tanpa disadari juga sering dilakukan masyarakat. Kita seringkali lalai melihat keberadaan forum komunikasi dalam grup percakapan online sebagai sebuah media komunikasi yang didalamnya telah menghubungkan banyak ragam perbedaan watak, sikap dan perilaku orang yang memiliki sensitivitas perasaan dan karakter yang berbeda pula.

Fenomena Bu Tejo yang gampang bergosip ini menjadi kritik, sekaligus pengingat kita yang seringkali begitu mudah memberikan justifikasi dan penilaian dalam perspektif yang tak bijak terhadap setiap berita yang disajikan dan respons dalam berkomunikasi sosial. Dalam ruang analisa lebih jauh, ketidakbijaksanaan berkomunikasi sosial semacam ini dapat dipengaruhi karena adanya penggunaan media sosial yang salah dan lemahnya literasi sosial secara online.


Anomali Media Sosial

Menjadi hal yang tak dapat dibantah jika kecanggihan media sosial dan teknologi telekomunikasi sekarang telah mendorong kuat lahirnya perkembangan Post –truth (realitas pasca kebenaran) di tengah kehidupan masyarakat digital Indonesia. Post-truthatau realitas pasca-kebenaran telah menjadi isu popular sekarang ini. Hampir semua negara di dunia hari ini tengah antusias dalam membicarakan istilah ini terutama dalam komunikasi publik.

Dalam pengertiannya, post-truth didefinisikan sebagai situasi dikaburkannya publik dari beragam fakta-fakta objektif. Dengan demikian, Post - truthdapat dianggap sebagai kebenaran yang disamarkan. Dalam konteks sekarang ini, proses demokratisasi ruang publik dengan kemajuan media sosial telah memungkinkan semua orang leluasa berbicara kritis yang kemudian mendorong banyak perubahan fakta kebenaran. Sayang, melalui cara inilah kekaburan akan sebuah pemberitaan juga dapat dengan mudah terjadi.

Dalam analisa Fredal (2011), retorika dan omong kosong hadir untuk berbicara, tidak hanya membentuk dan memengaruhi komunikator, komunikan, kesepahaman, dan relasi keduanya, melainkan juga membangun elemen masing-masing secara berkelanjutan melalui negosiasi, dan menekankan sentralitas respons audiens.

Tidak adanya relasi dengan fakta, realitas, dan kebenaran di antara retorika menjadi ciri yang sangat berkarakter dari post truth. Hal inilah yang membuat orang dengan sangat mudah bergosip dan juga menggunjingkan kehidupan orang lain selayaknya karakter tokoh Bu Tejo. Gosip yang terlalu masif juga memungkinkan terjadinya destabilisasi fakta bahkan lebih jauh melahirkan kondisi delusional atau situasi yang seakan – akan sudah terjadi.


Emosi Online

Peran ekspresif dan diskursif yang ditawarkan oleh situs media sosial (social network sites) kepada publik sangatlah besar karenanya tak jarang melalui cara inilah banyak orang yang mudah mengambil penilaian awal menjadi kesimpulan akhir. Keterlibatan langsung orang dalam setiap aktivitas online entah dalam media sosial atau melalui grup percakapan berbasis online tanpa disadari menghantarkan pelepasan emosi dan perasaan keterlibatan publik terhadap sebuah berita yang disajikan. Eksistensi media sosial pada titik ini seringkali berakibat pada lahirnya pemaksaan atas status afektif dan pendapat yang sejalan ditengah publik.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Rem Blong, Truk Solar Hantam Dua Rumah Warga

Kamis, 28 Maret 2024 | 19:00 WIB

Masalah Pendidikan Jadi Sorotan Ombudsman

Kamis, 28 Maret 2024 | 16:50 WIB

Gempa 3,3 Magnitudo Guncang Kotabaru

Kamis, 28 Maret 2024 | 15:58 WIB
X