Beredar Isu Omnibus Law Bisa Pidanakan Pengasuh Pesantren, Kemenag Kalsel: Saya Belum Bisa Komentar

- Rabu, 2 September 2020 | 11:27 WIB
H. Noor Fahmi, Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Kalsel. | Foto: Kalsel.kemenag.go.id
H. Noor Fahmi, Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Kalsel. | Foto: Kalsel.kemenag.go.id

BANJARBARU - Beredar kabar menyebutkan bahwa omnibus law RUU Cipta Kerja berpotensi mengancam eksistensi pesantren dan membuka kemungkinan pemidanaan pengasuh pondok tradisional.

Isu tersebut didasarkan pada rencana perubahan pasal 62 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang (Sistem Pendidikan Nasional) Sisdiknas. Perubahan tersebut termaktub dalam Pasal 68 RUU Cipta Kerja yang menyatakan, penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

Sementara pada Pasal 71 mengatur, penyelenggaraan satuan pendidikan yang didirikan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar.

Saat dikonfirmasi terkait hal ini, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Kalsel Noor Fahmi ternyata enggan memberikan komentar. "(saya) belum bisa komentar," katanya kepada Radar Banjarmasin, kemarin.

Hal senada disampaikan Sekretaris Umum MUI Kalsel H Fadli Mansur, dia enggan berkomentar dengan alasan belum mengikuti kabar omnibus law yang beredar itu. "Saya belum mengikuti topik berita tersebut," ujarnya.

Lalu bagaimana dengan tanggapan pondok pesantren (ponpes)? Pimpinan Ponpes Yasin, Ustaz Saifullah ternyata juga tidak ingin berkomentar. "Belum pernah lihat beritanya, jadi tidak bisa komentar," paparnya.

Sementara itu, terkait beredarnya kabar yang menyebutkan omnibus law RUU Cipta Kerja berpotensi mengancam eksistensi pesantren dan membuka kemungkinan pemidanaan ulama atau kiai pengasuh pondok tradisional. Menteri Agama Fachrul Razi memberikan penjelasan.

Dia memastikan penyelenggaraan pesantren diatur UU Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren dan tidak ada aturan sanksi pidana di dalamnya.

"Pemerintah punya UU tersendiri yang mengatur pesantren. Sehingga, penyelenggaraan pesantren merujuk pada UU No 18 tahun 2019 tentang Pesantren. Tidak ada sanksi pidana," kata Fachrul dalam keterangan tertulis di situs resmi Kemenag, Senin (31/8).

Dia menyampaikan, UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren adalah UU lex specialis. Sehingga berlaku kaidah Lex specialis derogat legi generali, yakni asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.

Mengenai pendirian pesantren, Fachrul menjelaskan hal itu diatur dalam Pasal 6 UU 18 Tahun 2019. Pendirian pesantren wajib berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan lil alamin dan berdasarkan Pancasila, UUD 1945, serta Bhinneka Tunggal Ika.

Selain itu, pesantren juga harus memenuhi unsur-unsur kiai dan santri yang bermukim di pesantren. Serta, pondok atau asrama, masjid atau musala, dan kajian kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin.

"Jika persyaratan itu sudah terpenuhi, maka pesantren memberitahukan keberadaannya kepada kepala desa atau sebutan lain sesuai dengan domisili Pesantren. Selanjutnya, penyelenggara mendaftarkan keberadaan pesantren kepada Menteri," jelas Fachrul.

Jika semua syarat terpenuhi, dia menyebut, selanjutnya Menteri Agama memberikan izin terdaftar dalam bentuk Surat Keterangan Terdaftar atau SKT.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Banjarmasin Pulangkan 10 Orang Terlantar

Jumat, 26 April 2024 | 14:30 WIB
X