Menata Kembali Lembaga Independen

- Senin, 7 September 2020 | 11:46 WIB
Adam Setiawan SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Untag 1945 Samarinda
Adam Setiawan SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Untag 1945 Samarinda

Pasca runtuhnya rezim Orde Baru tepatnya 22 tahun yang lalu, Indonesia mengalami proses transisi dari sistem politik otoritarian ke sistem politik demokratis. Salah satu wujud nyata transisi tersebut adalah adanya amandemen konstitusi sebanyak 4 (empat) kali. Reformasi konstitusi merupakan harga mati yang harus diperjuangkan, mengingat UUD 1945 (sebelum perubahan) mengakomodir dominasi pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya.

========================
Oleh: Adam Setiawan SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Untag 1945 Samarinda
========================

Selain itu, proses transisi sistem politik otoritarian ke sistem politik demokratis berimplikasi pula pada lahirnya lembaga-lembaga baru baik yang sifatnya independen (independent regulatory agencies), maupun lembaga sampiran (state auxiliary agencies). Fenomena lahirnya lembaga-lembaga baru diluar cabang kekuasaan utama merupakan solusi atas stagnansi praktik bernegara.

Saldi Isra memahami maksud dari yang dikatakan oleh Soekarno bahwa konsepsi trias politica yang digagas oleh Montesquieu dianggap telah usang. Dengan demikian artinya kebutuhan praktik bernegara yang terus bergerak mengikuti dinamika kompleksitas persoalan menghendaki hadirnya institusi baru. Karenanya, pembagian kekuasaan negara secara konvensional yang mengasumsikan hanya ada 3 (tiga) cabang kekuasaan di suatu negara tak mampu lagi menjawab kompleksitas yang muncul dalam perkembangan negara modern.

Bruce Ackerman dalam tulisannya yang selalu menjadi rujukan para ilmuwan politik dan hukum tata negara yang membahas cabang kekuasaan, dengan judul “ The New Separation of Power” menunjukan dalam perkembangannya negara Amerika Serikat mempunyai 5 (lima) cabang kekuasaan, yakni House of Representative, Senate, President, Court and independent agencies(Bruce Ackerman: 2000).

Adapun paradigma lembaga independen menurut Prof Jonathan Turley bahwa munculnya cabang keempat atau lahirnya lembaga di luar kekuasaan utama, menjadikan lembaga independen mempunyai kewenangan yang besar bahkan mereduksi kewenangan lembaga utama seperti lembaga pembentuk undang-undang (Jonathan Turley: 2013).

Diskursus yang berbeda dialami negara Indonesia, lembaga independen satu persatu kehilangan tajinya, karena desain pengaturannya yang tidak memadai. Alhasil tak ubahnya seperti pedang yang tumpul karena tidak pernah diasah, sehingga menjadi tumpul.

Sebagai contoh, keberadaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tidak jelas kerangka kerjanya dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran yang di masa lalu, ditambah kasus-kasus mutakhir seperti kasus Novel Baswedan yang banyak pihak menilai terpidana penyiraman air keras bukanlah orang yang sebenarnya dan tidak menjawab siapa aktor utama penyiraman.

Di samping soal pengaturan yang tidak memadai, ada pula desain pengaturan yang tidak mencerminkan makna indpendensi “an sich”. Contohnya adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), di awal kehadirannya didesain menjadi lembaga negara independen terbebas dari kekuasaan manapun. Namun pasca terbitnya UU No 19/2019 (revisi UU KPK) format KPK mengalami perubahan drastis menjadi lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif.

Hal tersebut rasanya kontraproduktif, bahkan terkesan menegasikan makna independen. Alasannya, karena di satu sisi KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang dimilikinya kini tetap bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Namun, di sisi lain KPK ditasbihkan dalam rumpun eksekutif. Tentunya timbul pertanyaan apakah mungkin KPK bisa bekerja secara efektif seperti sebelumnya, jika KPK terkungkung dalam kekuasaan eksekutif.

Problematika berikutnya adalah soal makna independen yang dinilai penuh tanda tanya, apabila dilihat dari pola rekrutmen anggota lembaga independen. Karena dalam praktiknya acapkali ditemukan pola rekrutmen yang anomali. Misalnya penunjukan tim panitia seleksi yang disinyalir adanya conflict of interst dengan salah satu calonnya. Sebagai contoh rekrutmen calon pimpinan KPK yang sekarang dinilai sangat kontroversial, karena banyak pihak yang menilai pansel diduga kuat mempunyai konflik kepentingan dengan pimpinan KPK yang terpilih.

Contoh lainnya adalah penunjukan Pansel Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang berasal dari unsur penyelenggara pelayanan publik, dinilai mempunyai conflic of interst. Ketua Pansel Anggota ORI adalah Chandra Hamzah, yang juga Komisaris Bank Tabungan Negara (BTN), lalu anggota pansel diisi Muhammad Yusuf Ateh sebagai Ketua Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), juga menjabat anggota Dewan Pengawas PT Peruri. Sedangkan Juri Ardiantoro menjabat Deputi V Kantor Staf Presiden, sekaligus komisaris PT Asuransi Jasa Indonesia.

Jika dilihat dari komposisinya, pansel anggota ORI terbukti ada yang rangkap jabatan. Hal demikian tentunya menimbulkan pertanyaan, karena sebelumnya ORI memberikan laporan adanya 397 penyelenggara negara terindikasi merangkap jabatan komisaris di BUMN.

Oleh sebab itu, wajar saja publik menjadi curiga, pansel akan menjaring anggota ORI yang tidak mempunyai kualitas dan integritas. Bahkan stigma masyarakat akan ada anggota yang dapat dikendalikan.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kebakaran, Duit Sisa THR Ikut Hangus

Sabtu, 20 April 2024 | 09:15 WIB
X