Mendengarkan Curhat Manusia Kolong Jembatan Antasari: Berulah karena Dijanjikan

- Senin, 14 September 2020 | 11:12 WIB
LEMBAB DAN GELAP: Manusia kolong di Jembatan Antasari, tepi Sungai Martapura. Selain lingkungan tidak sehat, mereka juga harus menghadapi Satpol PP. | Foto: Wahyu Ramadhan/Radar Banjarmasin
LEMBAB DAN GELAP: Manusia kolong di Jembatan Antasari, tepi Sungai Martapura. Selain lingkungan tidak sehat, mereka juga harus menghadapi Satpol PP. | Foto: Wahyu Ramadhan/Radar Banjarmasin

Penghuni kolong Jembatan Antasari bolak-balik ditertibkan. Bergeming ketika gubuknya digusur. Ketiga Satpol PP menjauh, gubuk baru kembali dibangun.

-- Oleh: WAHYU RAMADHAN, Radar Banjarmasin --

"KAMI selalu menyilakan petugas membongkar. Karena kami tinggal membangun lagi," kata Aluh santai.

Perempuan 55 tahun itu perantau. Penghuni paling senior alias yang paling lama bermukim di kolong jembatan dekat Mitra Plaza tersebut.

Mengapa perempuan asal Kabupaten Tapin itu bebal? Aluh rupanya termakan janji.

"Kami pernah dijanjikan oleh Dinas Sosial untuk disewakan tempat tinggal. Tapi sampai sekarang belum terwujud," tambahnya.

Senada dengan pengakuan Fatimah, 47 tahun. Menurutnya, Dinsos Banjarmasin sudah sering datang untuk mendata. Kartu keluarga bahkan dibawa.

"Kalau untuk makan sehari-hari, kami bisa mencari. Tapi untuk membayar sewa rumah, itu kami tidak mampu. Mereka lalu berjanji menyewakan rumah," kisahnya.

Kemarin (13/9) siang, selain Aluh dan Fatimah, ada tiga pemudi dan dua pemuda di situ. Bersantai menikmati makan siang, sembari menyesap bercangkir-cangkir teh panas.

Tapi hanya empat orang yang masih bekerja. Yakni Robi, 26 tahun dan Ipul, 35 tahun. Keduanya kuli angkut yang kerja serabutan.

Kemudian, Fatimah yang mengemis. Lalu Samaiyah (41) yang bekerja sebagai pemungut bawang sisa di Pasar Lima.

Sementara Aluh dan Leha hanya menunggui gubuk. Kaki mereka sudah tak kuat diajak berjalan jauh. Tapi setidaknya mereka masih mengumpulkan kardus bekas untuk diloak. "Paling jauh sanggup menaiki jembatan ini," timpal Ipul.

Tentu tak ada yang ingin berlama-lama menjadi manusia kolong. "Tapi kami harus terus menjalaninya sembari berharap ada yang membantu," kata Leha.

Agar bisa tetap makan, enam orang ini urunan. Masing-masing menyetor Rp5 ribu untuk membeli beras dan lauk secukupnya. Sisa urunan dibelikan air minum. Per jeriken Rp500.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pertanyakan Konsistensi Dinas PUPR

Selasa, 23 April 2024 | 08:45 WIB
X