Beratnya Hidup Penyandang Tunanetra di Tengah Pandemi: Mengamen Sepi, Pasien Pijat Berkurang

- Senin, 14 September 2020 | 13:39 WIB
MENGAMEN: Sutarso, 37, salah seorang penyandang tunanetra saat mengamen di SPBU Jalan A Yani Km 33, Banjarbaru, baru-baru tadi. | FOTO: SUTRISNO/RADAR BANJARMASIN
MENGAMEN: Sutarso, 37, salah seorang penyandang tunanetra saat mengamen di SPBU Jalan A Yani Km 33, Banjarbaru, baru-baru tadi. | FOTO: SUTRISNO/RADAR BANJARMASIN

Pandemi Covid-19 sudah berdampak ke mana-mana. Para penyandang tunanetra di Banjarbaru pun dibuat kesulitan. Sutarso misalnya, beban hidupnya semakin berat ketika virus dari Cina itu mewabah.

---

Kamis (3/9) pagi hujan mengguyur sejumlah wilayah di Banjarbaru. Namun, seorang tunanetra mengenakan baju dan celana lusuh tampak sudah berada di salah satu SPBU di Jalan A Yani Km 33, Banjarbaru.

Pria itu adalah Sutarso. Saban hari dia mangkal di sana untuk mencari rezeki dengan mengamen. Meski diguyur hujan, dirinya terlihat tetap menyanyi menghibur para pengendara yang mengisi BBM di SPBU.

Sutarso mengaku sudah terbiasa mengamen di tengah guyuran hujan. Karena menurutnya berteduh atau istirahat sebentar saja akan mengurangi rezekinya. "Sudah kebal dengan hujan. Kalau berteduh tidak dapat uang," katanya.

Apalagi di tengah pandemi Covid-19 saat ini, pria 37 tahun ini tidak ingin menyia-nyiakan waktunya ketika sudah berada di SPBU. "Karena pendapatan selama Covid jauh menurun. Tidak banyak yang memberi uang," ujarnya.

Sutarso mengungkapkan, selama pagebluk ini rata-rata pendapatannya hanya sekitar Rp50 ribu sehari. Padahal, sebelum pandemi dirinya bisa menghasilkan uang Rp100 ribu sehari. "Belum lagi dipotong ongkos taksi Rp30 ribu," ungkapnya.

Rumah Sutarso berjarak 5 Kilometer dari SPBU. Tepatnya di Jalan Kuranji, Kelurahan Guntung Manggis, Kecamatan Landasan Ulin. "Tapi berapapun uang yang saya hasilkan, tetap saya syukuri," ucap Sutarso.

Selain mengamen, bapak satu anak ini juga menerima jasa pijat. Akan tetapi, selama pandemi orang yang menggunakan jasa pijatnya juga berkurang. "Mungkin orang takut tertular Covid-19, jadi menghindari dipijat," ujarnya.

Dia menuturkan, sejak Covid-19 mewabah dalam satu bulan rata-rata hanya ada tiga pasien yang menggunakan jasa pijatnya. Satu orangnya rata-rata memberi upah Rp80 ribu sampai Rp100 ribu. "Padahal sebelum pandemi bisa sampai delapan pasien sebulan," tuturnya.

Lalu apakah pendapatannya cukup untuk keperluannya sehari-hari? Sutarso mengatakan, mereka terpaksa mengurangi porsi makan agar penghasilannya cukup untuk menghidupi keluarganya. "Misal lauknya dikurangi. Atau bahkan makan cuma pakai tahu dan tempe," katanya.

Beruntung dirinya juga mendapatkan bantuan dari pemerintah setiap bulannya, yakni berupa paket sembako dan uang Rp100 ribu. "Lumayan, bisa untuk menutupi kebutuhan. Anak sekolah SMP juga dapat bantuan paket data untuk belajar online," beber Sutarso.

Di samping itu, dia menyebut selama pandemi Covid-19 mereka juga bisa leluasa mengamen. Sebab, Satpol-PP Banjarbaru tidak pernah lagi merazia para pengamen tunanetra. "Biasanya sering dirazia. Bahkan, pernah ditangkap," sebutnya.

Secara terpisah, Kepala Satpol PP Banjarbaru, Marhain Rahman menyampaikan, pihaknya saat ini masih fokus melakukan pengawasan dan penegakan Peraturan Wali Kota Banjarbaru terkait protokol kesehatan Covid-19. Sehingga mereka belum menjadwalkan agenda pengawasan pengamen tunanetra.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Banjarmasin Pulangkan 10 Orang Terlantar

Jumat, 26 April 2024 | 14:30 WIB
X