Stop Penebangan Pohon Ulin

- Rabu, 16 September 2020 | 12:59 WIB
Dr Drs Suyanto, M.P, Dosen Program Magister (S2) Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan ULM
Dr Drs Suyanto, M.P, Dosen Program Magister (S2) Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan ULM

Pemanfaatan hutan alam di Kalimantan Selatan, terutama oleh kegiatan penebangan liar di Kabupaten Tabalong, Tanah Bumbu dan Kotabaru, hingga kini masih berlangsung dan tidak terkendali. Hal ini dipicu oleh berdirinya industri bandsaw tanpa memiliki wilayah hutan sebagai penyedia bahan baku kayu. Sehingga pemanfaatan hutannya melebihi tingkat pertumbuhan. Sementara masyarakat sendiri dengan alasan ekonomi tidak merasa bersalah melakukan penebangan liar.

=====================
Oleh: Dr Drs Suyanto, M.P
Dosen Program Magister (S2) Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan ULM
=====================

Akibatnya terjadi degradasi sumberdaya hutan alam dan makin meningkat dengan adanya konversi lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, pembukaan lahan untuk pertambangan batubara, untuk IUPHHK hutan alam dan IUPHHK hutan tanaman industri serta konversi lahan untuk pembangunan infrastruktur lainnya. Sementara pengawasan terhadap kegiatan penebangan liar sangat lemah, seolah sengaja ada pembiaran oleh instansi terkait, aparat penegak hukum dan kepala daerah.

Dampak lingkungan yang timbul dapat kita lihat dalam dekade terakhir ini, seperti banjir bandang, tanah longsor, kesulitan mendapatkan air bersih, kekeruhan air sungai, banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Padahal sebelumnya tidak pernah terjadi.

Akibat lainnya adalah terjadi degradasi kekayaan hayati jenis Ulin (Eusideroxylon zwageri) yang merupakan jenis asli Kalimantan. Keberadaan pohon sekarang ini semakin langka, indikasinya diperlihatkan oleh melambungnya harga di pasaran. Ulin yang dijual umumnya berasal dari ulin muda, dan sulit mendapatkan biji ulin dari pohonnya, meskipun sebelumnya merupakan habitat ulin.

Ulin berkembang biak dengan biji, meskipun sekarang sudah banyak dikembangkan metode stek pucuk. Pertumbuhan ulin sangat lambat di Kalimantan hanya 0,3 cm/tahun, sedangkan pertumbuhan pohon lainnya 1 cm/tahun. Artinya, ulin berdiameter 40 cm diperkirakan sudah berumur 133 tahun.

Daftar merah IUCN 2020 menyatakan status konservasi ulin adalah termasuk jenis yang rentan terhadap kepunahan. Jika dibuat skala status konservasi 1 (Not Evaluation/NE), tidak dinilai karena masih melimpah di alam liar dan skala 9 (Extinct/E), tidak ada individu yang tersisa alias punah. Ulinsekarang berada pada skala 5 (Vulnerable/Vu),yaitu jenis yang berisiko tinggi terjadinya kepunahan di alam liar. Daftar merah IUCN mengingatkan kepada kitau ntuk segera melakukan upaya konservasi terhadap jenis tersebut.

Upaya pelestarian ulin telah dilakukan. Pemerintah pusat melarang ekspor kayu ulin dan memasukkannya dalam daftar jenis flora yang dilindungi. Dalam skala kecil lembaga/perusahaan bersama masyarakat telah melakukan penanaman ulin, masyarakat dengan kearifannya memberlakukan hukumadat dan menetapkan hutan tutupan. Upaya tersebut belum memberi hasil regenerasi ulin yang diharapkan, sementara dalam hutan terus terjadi penebangan, sehingga keberadaan ulin di habitatnya semakin terancam.

Apabila kondisi ini dibiarkan, ulin segera menjadi jenis langka. Generasi muda tidak bisa lagi mengenal wujud pohon ulin, mereka mengenal ulin dari melihat kayu bangunan rumahnya, melihat kendaraan kelotok yang ditumpanginya atau melihat perabotan rumah yang digunakannya, tetapi mereka bahkan mungkin para pembaca tidak pernah melihat wujud pohon yang sesungguhnya. Ini ironis sekali, mereka dilahirkan di Kalimantan dimana merupakan habitat endemik ulin.

Ada alternatif pengganti kayu ulin, dengan kayu lain yang keawetannya sama atau sedikit di bawah kayu ulin, yakni kayu klasawet I (sangattahan) atau II (tahan), sedangkan kayu tersebut tidak dilindungi dan banyak ditemukan di hutan alam. Sebagai pengganti ulin untuk lokasi Kalimantan dapat memilih jenis Resak (Cotylelobium flavum), Laban (Vitex pubescens), Empas (Boueaburmanica), Bengkirai (Hopeadryobalanoides), Merbau (Instia spp.), Keruing (Dipterocarpus sp.), Sulawesi Tenggara dengan jenis Kandole (Diploknemaoligomera), kayu Besi (Metrosiderospetiolata), Jawa dengan jenis Tanjung (Mimusopselingi), Jati (Tectonagrandis), Riau dengan jenis Pelawan Merah (Tristaniamaingayi).

Pemanfaatan ulin bekas perlu diberikan apresiasi yang tinggi, demikian juga pemanfaatan tunggak ulin dan limbah ulin bekas untuk bahan arang adalah tindakan yang bersifat konservatif untukmengurangi tekanan terhadap keberadaan pohon ulin disamping dapat menciptakan lapangan kerja dan peluang berusaha baru.

Upaya pelestarian ulin harus ditingkatkan melalui penegakan hukum yang ketat terhadap kegiatan penebangan liar. Penanaman secara insitu/exsitu terus dilakukan untuk kepentingan anak cucu kita. Upaya pelestarian jenis ulin identik dengan pelestarian budaya masyarakat Kalimantan, karena ulin telah dimanfaatkan sejak ratusan tahun lalu.

Dibutuhkan komitmen kepala daerah dan jajarannya untuk melindungi hutan alam yang masih tersisa dan pencabutan izin industri bandsaw yang tidak memiliki cadangan bahan baku. Bila perlu diadakan gerakan konservasi ulin. Sangat berlawanan dengan gerakan Revolusi Hijau yang dicanangkan Gubernur Kalimantan Selatan kalau di tempat lain pembabatan hutan alam hingga sekarang sengaja dibiarkan. (*)

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Rem Blong, Truk Solar Hantam Dua Rumah Warga

Kamis, 28 Maret 2024 | 19:00 WIB

Masalah Pendidikan Jadi Sorotan Ombudsman

Kamis, 28 Maret 2024 | 16:50 WIB

Gempa 3,3 Magnitudo Guncang Kotabaru

Kamis, 28 Maret 2024 | 15:58 WIB

Januari hingga Maret, 7 Kebakaran di Balangan

Selasa, 26 Maret 2024 | 15:35 WIB
X