Gila atau Tidaknya Pelaku, Hakim yang Putuskan, Bukan Polisi

- Rabu, 16 September 2020 | 13:04 WIB
Dr H Mispansyah, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat.  Foto: Lidmi.or.id
Dr H Mispansyah, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat. Foto: Lidmi.or.id

Seperti diberitakan, Syekh Ali Jaber ditusuk saat mengisi pengajian dan wisuda Tahfidz Alquran di Masjid Falahudin yang berada di Jalan Tamin, Kecamatan Tanjung Karang Barat, Minggu (13/9/2020) sore. Syekh Ali Jaber alami luka di tusuk di bahu kanan dan terpaksa menerima enam jahitan di bagian dalam dan empat jahitan di bagian luar.

==========================
Oleh: Dr H Mispansyah, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat
==========================

Berbagai pihak menginginkan pelaku penyerangan diproses hukum, jangan sampai seperti kasus-kasus sebelumnya karena pengakuan ataupun diduga “orang gila” kemudian kasusnya dihentikan oleh pihak kepolisian.

Sederet kasus yang menimpa ulama, imam masjid sampai marbot masjid terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini. Berikut ini kita rekam ulang kasusnya. Di antaranya pada tanggal 27 Januari 2018, pemukulan KH Umar Basri, pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Hidayah di Cicalengka, Kabupaten Bandung. Pelakunya berpakaian rapi, kemudian pelaku bernama Asep ini dikabarkan sakit jiwa.

Kemudian tanggal 30 Januari 2018, penembakan mantan Deputi Operasi Basarnas Mayjen (Purn) TNI Tatang Zaenudin di jalan Bukit Pasir No 49 RT 001/RW 012 Depok oleh orang gila tak dikenal. Lalu pada 1 Februari 2018, penganiayaan Ustaz Prawoto, Komandan Brigade Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis) Cigondewah, Bandung hingga meninggal, oleh orang gila berpakaian rapi.

Lantas, pada 3 Februari 2018, santri pondok pesantren Al-Futuhat Garut, berinisial Abd alias Uloh diserang oleh 6 orang gila tak dikenal menggunakan senjata tajam. Peristiwa berikutnya tanggal 4 Februari 2018, seorang pemuda yang bersembunyi di atas Masjid At Tawakkal 1 Kota Bandung, mengacung-acungkan pisau seraya berteriak-teriak 'Ustaz bukan?! Ustaz bukan?!'.

Berikutnya pada tanggal 8 Februari 2018, ulama Bogor, Ustaz Sulaiman dibacok orang gila di Desa Cigudeg. Pada tanggal 18 Februari 2018, pengasuh Ponpes Karangasem Muhammadiyah Paciran Lamongan, KH Abd Hakam Mubarok diserang orang gila. Masih banyak sederetan kasus pelaku penyerangan ulama atau yang berniat mengganggu ulama.

Benarkah para pelaku itu adalah orang gila alias orang dengan gangguan jiwa (ODGJ)? Apakah cukup hanya diperiksa oleh dokter ahli jiwa, kemudian pihak kepolisian menghentikan kasus? Siapa sebenarnya yang berhak menilai atau memutuskan bahwa pelaku memang terkategori “gila” dan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana?

Pertanggungjawaban Pidana

Kemampuan bertanggung jawab selalu berhubungan dengan keadaan psycis pembuat. Kemampuan itu selalu dihubungkan dengan pertanggungjawaban pidana. Hal ini yang menjadikan kemampuan bertanggung jawab menjadi salah satu unsur pidana.

Kemampuan bertanggung jawab merupakan dasar untuk menentukan pemidanaan kepada pembuat. Perbedaan antara tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana, dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas. Sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Bahkan dalam hukum pidana dikenal asas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan).

Dengan demikian pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya.

Siapa yang menentukan kemampuan bertanggung jawab? Kemampuan bertanggung jawab ini harus dibuktikan ada tidaknya oleh hakim. Karena apabila seseorang terbukti tidak memiliki kemampuan bertanggung jawab, hal ini menjadi dasar tidak dipertanggungjawabkannya pembuat. Artinya pelaku tidak dapat dipidana atas suatu kejadian tindak pidana. Syarat pertanggungjawaban pidana itu ada 2. Pertama syarat internal dari pertanggungjawaban pidana adalah memiliki kesalahan.
Kedua, syarat eksternal dari pertanggungjawaban pidana adalah melakukan tindak pidana. Jadi seseorang akan dimintai pertanggungjawaban pidana tidak hanya karena dia telah melakukan tindak pidana, tetapi juga seseorang tersebut melakukan kesalahan.

Adapun unsur kesalahan, terdiri atas. Pertama, mampu bertanggung Jawab. Kedua, mempunyai kesengajaan atau kealpaan. Ketiga tidak adanya alasan pemaaf. Berdasarkan Memorie van Toelichting (MvT) sebagai penjelasan Wetboek van Strafrecht (WvS) kemudian menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, diatur mengenai pertanggungjawaban pidana. Menentukan secara negatif, yaitu tidak mampu bertanggungjawab adalah, satu, dalam hal orang tidak diberi kebebasan memilih antara berbuat/tidak berbuat/apa yang oleh UU dilarang/diperintahkan. Dua, dalam hal orang ada dalam keadaan tertentu sehingga tidak dapat menginsyafi perbuatannya bertentangan dengan hukum, dan tidak mengerti akibat perbuatannya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

X