DESPIANOOR Wardani, 23 tahun, adalah guru honorer SLB (Sekolah Luar Biasa) di Kabupaten Kotabaru.
============================
Oleh: Muhammad Syarafuddin
Editor Metropolis Radar Banjarmasin
============================
Pada 13 Juli, Despi ditahan Polres Kotabaru. Gara-gara status bertema khilafah di Facebook.
Sidang perdana digelar 19 Agustus. Dibebaskan pada putusan sela 9 September. Hakim menyebut jaksa tak cermat karena menggunakan Pasal 155 KUHP yang sudah dicabut belasan tahun silam.
Pada 2007, Mahkamah Konstitusi menghapus Pasal 154 dan 155 tentang ujaran kebencian. Lantaran kerap dipakai untuk menjerat demonstran.
Namun, sehari berselang Despi kembali dijemput. Kali ini jaksa penuntut telah belajar. Menjerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sungguh masa yang muram untuk kemerdekaan berpendapat. Jangankan wartawan, netizen saja bisa tersandung. Semua berkat keefektifan UU ITE.
Despi dituduh menghina negara dan Pancasila. Teman yang menulis di kolom komentar bahkan ikut terseret.
Anda boleh setuju atau tidak dengan gagasan khilafah. Boleh anti dengan Hizbut Tahrir. Boleh pro radikal atau pro moderat.
Tapi kita harus bersepakat, Pancasila mesti menjadi tenda besar yang teduh. Kaum nasionalis, sekuler, sosialis dan islamis, silakan berteduh.
Saya masih ingat, bagaimana sensasi seusai membaca biografi Bung Karno. Judulnya 'Penyambung Lidah Rakyat' yang ditulis wartawati Amerika Serikat, Cindy Adams dan terbit tahun 1965.
Atau 'Nasionalisme dan Revolusi Indonesia' karya George McTurnan Kahin yang terbit tahun 1952.
Ada rasa bangga. Bahwa Indonesia ternyata memiliki raksasa seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Agus Salim dan Mohamad Natsir. Kepada kawan, didiskusikan dengan gembira dan nyaring.
Kini, sebaiknya berbisik-bisik. Terutama ketika membahas bab sejarah penggodokan asas negara.