Warisan Kai Asing (1930-2005): Nazar dari Kapal Karam, Punahnya Tambangan dan Saudara Sungai

- Kamis, 24 September 2020 | 13:29 WIB
GERAH: Mengenakan kacamata hitam, menggigit tusuk gigi dan bertelanjang dada, Kai Asing menulis naskah penelitian jukung di rumahnya di Banua Anyar, Banjarmasin Timur. | FOTO: DOKUMEN PRIBADI ERIK PETERSEN
GERAH: Mengenakan kacamata hitam, menggigit tusuk gigi dan bertelanjang dada, Kai Asing menulis naskah penelitian jukung di rumahnya di Banua Anyar, Banjarmasin Timur. | FOTO: DOKUMEN PRIBADI ERIK PETERSEN

"Harmoko!" bentaknya ketika lampu mati. Dengan kesal, Erik menunggu listrik kembali menyala agar bisa kembali meneruskan sketsanya.

-- Oleh: WAHYU RAMADHAN, Banjarmasin --

RUSDIANA tak pernah mengerti, mengapa kakeknya selalu meneriakkan nama Menteri Penerangan zaman Orde Baru itu ketika PLN berulah.

"Entah apa maknanya," ujarnya saat ditemui penulis di rumahnya di Banua Anyar, Banjarmasin Timur, Jumat (18/9).

Rusdiana adalah cucu kesayangan Erik Petersen. Semasa kecil, ia kerap menemani Erik bekerja. "Saya sering dijadikan model sketsa," kenangnya.

Ketika diminta menuturkan perjalanan hidup sang kakek, perempuan 30 tahun itu amat bersemangat. Diceritakannya, sebelum pindah ke Banjarmasin, Erik tinggal di Mandomai, Kapuas Barat, Kalimantan Tengah.

Di sana ia bertemu Maspun Kasran. Seorang hajjah yang ditinggal suami wafat dengan lima anak. Sementara Erik telah bercerai dari istrinya. Pernikahan pertama dikaruniai tiga anak.

"Kata nenek, kakek pernah bernazar. Bila selamat dari bahaya, ia akan menikahi penduduk asli," ujarnya.

Konon, kapal yang ditumpangi Erik hampir karam. Dalam situasi genting, ia mengucapkan nazar. "Tapi nenek punya satu syarat, kakek harus masuk Islam dulu," tambahnya.

Mengingat keluarga neneknya terbilang taat beragama. Setelah mengucap syahadat, Erik menyandang nama muslim Arif Faturahman.

 

Setelah menikah, keluarga diboyong ke Banua Anyar, perkampungan di tepi Sungai Martapura. Sempat bermukim di RT 16, tapi tak betah karena perumahannya terlalu padat. Erik kemudian membangun rumah di RT 07.

Di situ, ia kerasan karena udaranya sejuk. "Kakek tidak terbiasa kepanasan. Dan harus dekat sungai," ujarnya.

Erik lahir tahun 1930. Kedatangannya ke Banjarmasin diperkirakan tahun 1992. Bertepatan dengan tibanya masa pensiun sebagai arsitek perencana.

Datang ke Banjarmasin karena terkesan oleh industri pembuatan perahu tradisional Kalimantan alias jukung. Mengisi hari-hari pensiun, Erik habis-habisan meneliti jukung.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Rem Blong, Truk Solar Hantam Dua Rumah Warga

Kamis, 28 Maret 2024 | 19:00 WIB

Masalah Pendidikan Jadi Sorotan Ombudsman

Kamis, 28 Maret 2024 | 16:50 WIB

Gempa 3,3 Magnitudo Guncang Kotabaru

Kamis, 28 Maret 2024 | 15:58 WIB

Januari hingga Maret, 7 Kebakaran di Balangan

Selasa, 26 Maret 2024 | 15:35 WIB
X