Cengkeraman Klaster Pilkada

- Jumat, 25 September 2020 | 13:55 WIB
Akhmad Lazuardi Saragih, Alumnus FISIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
Akhmad Lazuardi Saragih, Alumnus FISIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

Seruan penundaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di 270 daerah di Indonesia semakin kencang disuarakan. Di saat bersamaan tahapan memasuki babak baru. Rabu (23/9), Komisi Pemilihan Umum (KPU) di seluruh tingkatan di daerah menetapkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui rapat pleno KPU. Selanjutnya, penetapan nomor urut calon kontestan peserta pilkada.

==========================
Oleh: Akhmad Lazuardi Saragih
Penyuka Dunia Jurnalisme
Alumnus FISIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
==========================

Kini, desakan penundaan pilkada menggema. Berbagai kalangan pegiat demokrasi dan masyarakat sipil, Komnas HAM serta organisasi keagamaan, meminta pemerintah mengkaji ulang pelaksanaan pilkada. Alasan mendasar adalah faktor bencana non-alam. Pilkada yang dipaksakan bakal menimbulkaan keresahan baru di masyarakat. Alih-alih mengurangi penyebaran Covid-19, tapi apa lacur, pilkada bakal menjadi ancaman klaster baru mata rantai penyebaran virus corona.

Berdasarkan data yang dilansir Satuan Tugas Penanganan Covid-19, hingga Rabu (23/9) terdapat 4.465 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam terakhir. Penambahan itu menyebabkan jumlah total kasus Covid-19 di Indonesia menjadi 257.388 orang, terhitung sejak diumumkannya pasien pertama pada 2 Maret 2020. Adapun 4.465 kasus baru merupakan rekor tertinggi penambahan pasien Covid-19 dalam sehari di masa pandemi.

Lantas, bagaimana jaminan keselamatan kesehatan warga negara sebagai pemilih, penyelenggara dan pengawas serta peserta pilkada, bila ajang pilkada tetap digelar. Pemerintah mestinya sadar, di tengah hingar bingar ancaman dan cengkeraman Covid-19 yang hilir mudik hadir di ruang publik, pemenuhan hak atas keselamatan dan kesehatan jiwa warga negara jauh lebih penting diprioritaskan ketimbang menggelar seremoni demokrasi di pentas pilkada.

Pemenuhan hak politik di alam demokrasi memang suatu keniscayaan. Namun, negara wajib melindungi setiap warga negara yang mendaulat hak politiknya atas dasar hak dipilih dan memilih. Namun, di tengah kegentingan pandemi Covid-19, mestinya negara memprioritaskan untuk melindungi hak dasar kesehatan warga negara.

Negara tak boleh memaksakan pemenuhan hak politik saat situasi negara dilanda darurat kesehatan. Pemerintah dapat memilih opsi menunda pilkada, dan menjadwalkan kembali pelaksanaanya. Jangan pula memaksakan proses tahapan hanya untuk menggugurkan kewajiban proses politik bernegera.

Sungguh terlalu besar anggaran pilkada, sementara besar kemungkinan partisipasi pemilih tak signifikan, apalagi disaat merebaknya wabah Covid-19. Memaksakan digelarnya pilkada di tengah ancaman pandemi corona harus wajib dipertimbangkan secara matang, termasuk dampak dan risiko yang ditimbulkan.

Berbagai risiko dan ancaman yang dihadapi, mengikhtiarkan langkah yang tepat, cermat, dan hati-hati. Jangan sampai pilkada menjadi ledakan baru penyebaran Covid-19, terlebih bakal menjadi klaster baru di tengah pesta demokrasi ajang pilkada.

Semua risiko dan ancaman itu tentu bisa saja terjadi. Pertanyaannya? Apakah pilkada harus ditunda. Dan, dimundurkan waktu pelaksanaannya. Seperti apa pula mitigasi risiko yang dilakukan bila proses tahapan pilkada tetap digelar 9 Desember mendatang.

Jika alasan hak politik warga negara menjadi dalih pemerintah menggelar pilkada, sementara kondisi pandemi corona masih belum dapat diperkirakan berangsur pulih dan angka statistik terjangkitnya Covid-19 terus naik, tentu hal itu menabrak hak asasi manusia warga negara dari ancaman Covid-19. Patut diingat, kesehatan dan keselamatan jiwa manusia merupakan hak hakiki yang wajb dilindungi diatas segala-galanya.

Kita boleh saja, silih berganti pemimpin, baik itu presiden, gubernur, bupati dan wali kota, namun yang patut diperhatikan adalah keselamatan akan kesehatan warga negara dari ancaman bahaya penyakit yang merenggut jiwa manusia. Apatisme dan ketakukan masyarakat wajib diperhatikan jika pilkada tetap dipaksakan digelar.

Bila pemerintah bersikukuh tetap mengelar pilkada. Pemerintah, penyelenggara dan pengawas, serta seluruh komponen yang terlibat dari suksesi penyelenggaraan pesta demokrasi ini, berkewajiban memastikan dan mempersiapkan pilkada dapat berlangsung secara jujur, adil, sehat dan demokratis. Dan, yang terpenting, ketaatan semua pihak menerapkan protokol kesehatan secara ketat, wajib menjadi satu keniscayaan.

Prioritas jaminan kesehatan bagi seluruh warga negara menjadi hal mendasar dari ancaman terpaparnya Covid-19. Sebagai pemilih, penyelenggara dan pengawas serta peserta pilkada, sekali lagi, harus terjamin keselamatannya, jika hal itu tidak menjadi jaminan, sebaiknya pilkada ditunda.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pertanyakan Konsistensi Dinas PUPR

Selasa, 23 April 2024 | 08:45 WIB
X