Pengamen di Banjarmasin tak hanya dituntut lihai bermain gitar dan memiliki suara merdu. Mereka juga harus memiliki mata yang awas dan kaki yang mampu berlari kencang.
-- Oleh: WAHYU RAMADHAN, Banjarmasin --
DISOROT panas matahari, Sahran dan Ismail berkolaborasi. Bila Sahran menyanyi, maka Ismail yang memetik gitar. Begitu pula sebaliknya.
Nyanyian mereka dari sepasang speaker. Beradu dengan deru mesin kendaraan yang melintas di perempatan lampu merah Jalan Pangeran Antasari.
Rupiah demi rupiah dikumpulkan. Nominalnya memang tak seberapa, tapi layak disyukuri.
Kemarin (4/10) siang, bergabung dua kawan, Anshari dan Zainuddin. Mereka yang bertugas menyodorkan kotak, mengharapkan koin atau lembaran uang dari pengendara.
"Kalau sudah terkumpul, uangnya kami bagi rata," beber Sahran. Lelaki 35 tahun ini sudah malang melintang menjadi pengamen di Banjarmasin.
Entah sudah berapa kali dikejar-kejar Satpol PP. "Saya juga pernah diangkut ke rumah singgah Dinas Sosial. Di sana mengenaskan, mas. Digabung sama orang gila. Makanannya juga tidak layak," kenangnya.
Tapi Sahran tak jera. Dia sudah sering melamar kerja, tapi selalu saja ditolak. "Ketimbang melanggar hukum, mending saya mengamen," kilahnya.
Berbeda dengan Ismail yang terbilang pengamen baru. Baru dua bulan. Pandemi lah yang memaksanya mengamen. Dia korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Saya korban pandemi. Saya harus terus menafkahi dua anak dan seorang istri di rumah," tuturnya.
Mereka tak pernah berlama-lama. Kalau dihitung-hitung, tak kurang dari satu jam. Keempatnya lalu bergeser ke tempat lain. Itu trik untuk menghindari patroli Satpol PP.
"Kami bingung. Harus bagaimana lagi? Kami sudah mulai tertib. Tidak wara-wiri menenteng gitar sambil menyanyi. Tapi masih juga diuber-uber," bebernya.
Sebagian pengamen kini lebih memilih pedestrian jalan. Tak lagi keluar masuk warung dan depot.