Mengukur Kekuatan Dewan Menolak Omnibuslaw

- Selasa, 13 Oktober 2020 | 13:25 WIB
Rahmad Ihza Mahendra, penulis.
Rahmad Ihza Mahendra, penulis.

Omnibuslaw atau RUU Cipta Kerja sudah disahkan dan selangkah lagi akan mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden RI. Sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang (UU) ada pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selanjutnya, di dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 diatur bahwa setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

========================
Oleh: Rahmad Ihza Mahendra
Peneliti Pusdikrasi Banjarmasin
========================

Presiden Republik Indonesia memiliki waktu 30 hari untuk menandatangani UU a quo selaras dengan UU No 12 Tahun 2011 Pasal 73 (1) Rancangan Undang-Undang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.

Akan tetapi, meskipun presiden tidak menandatangani Omnibuslaw (UU Cipta Kerja) akan tetap berlaku. Hal ini dimuat pada Pasal 73 ayat (2), yang berbunyi “Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan”.

Gejolak dimana-mana dari Sabang sampai Merauke sebagai respons atas pengesahan undang-undang ini oleh DPR RI. Salah satunya di Kalimantan Selatan. Aliansi mahasiswa dan buruh menolak keras atas omnibuslaw. Gelombang aksi unjuk rasa memaksa anggota DPRD dan Plt Gubernur Kalsel keluar gedung dan menemui massa. Mereka bersepakat untuk menolak omnibuslaw dan membuat komitmen. Bunyinya; “Kami DPRD Provinsi Kalimantan Selatan akan berangkat pada tanggal 8 Oktober 2020 ke Istana Presiden untuk menyampaikan keberatan terhadap Undang–Undang Cipta Kerja, Presiden Harus Mengeluarkan PERPPU sekarang juga”.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945): “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”

Penetapan PERPU yang dilakukan oleh presiden ini juga tertulis di Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berbunyi; “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”

Ukuran objektif penerbitan PERPU baru dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi presiden untuk menetapkan PERPU.

Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa, karena akan memerlukan waktu yang cukup lama. Sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Dari pasal di atas dapat kita ketahui bahwa syarat presiden mengeluarkan PERPU adalah dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) memiliki; pertama secara esensial Perppu adalah suatu peraturan pemerintah yang (berfungsi) menggantikan undang-undang dalam suatu kondisi ketatanegaraan yang abnormal, seperti adanya suatu kegentingan yang memaksa.

Kedua, Perppu tidak selalu berfungsi mengganti undang-undang, tetapi seringkali Perppu hanya mengubah (menambah atau mengurangi) norma-norma hukum dalam suatu undang-undang. Bahkan Perppu juga seringkali muncul dengan norma hukum yang baru sama sekali yang sebelumnya belum pernah tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

Jika melihat kembali ke belakang, RUU Cipta Kerja pemerintahlah yang mengusulkan ke DPR RI, dengan niat untuk menarik investasi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut istilah omnibuslaw dalam pidato pertama setelah dilantik sebagai presiden periode 2019-2024 pada 20 Oktober 2019. Pemerintah sedianya mengajukan draf omnibuslaw ke DPR pada Desember 2019. Namun, rencana tersebut mundur hingga Januari 2020.

Bahkan, presiden meminta kepada Ketua DPR Puan Maharani agar pembahasan omnibuslaw selesai dalam waktu tiga bulan. "Ini ada 82 undang-undang, mohon segera diselesaikan. Saya sudah bisik-bisik, kalau bisa jangan lebih dari tiga bulan," kata Jokowi saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrembangnas) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Untuk itu dapat diambil kesimpulan bahwa peluang pemerintah menerbitkan PERPPU sangatlah minim, karena yang menginginkan omnibuslaw ini bukan hanya DPR RI, tapi pemerintah juga memiliki hasrat yang lebih besar.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pertanyakan Konsistensi Dinas PUPR

Selasa, 23 April 2024 | 08:45 WIB

Kebakaran, Duit Sisa THR Ikut Hangus

Sabtu, 20 April 2024 | 09:15 WIB
X