Omnibus Law dan Kolonisasi Sejarah

- Selasa, 20 Oktober 2020 | 15:44 WIB
Penulis; Haris Zaky Mubarak, MA
Penulis; Haris Zaky Mubarak, MA

Di tengah kelesuan ekonomi Indonesia akibat pandemi Covid-19, disahkannya Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja memberi nilai negatif publik, karena dianggap tak mewakili transparansi publik. Apalagi pembahasan UU itu dikebut cepat, padahal baik DPR dan pemerintah semestinya prioritas mengurus upaya penyelesaian masalah Covid-19.

=========================
Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA
Sejarawan dan Direktur Jaringan Studi Indonesia
=========================

Ada sepuluh isu krusial dalam UU Cipta Kerja yang mendapatkan banyak penolakan di kalangan publik. Sepuluh isu tersebut berkaitan erat dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sanksi pidana pengusaha, Tenaga Kerja Asing (TKA), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Kemudian terkait pesangon, karyawan kontrak seumur hidup, kerja kontrak atau outsourcing seumur hidup, waktu kerja, cuti dan hak upah cuti, serta jaminan kesehatan dan pensiun bagi pekerja kontrak.

Bagi publik, lahirnya Omnibus Law atau UU Cipta  Kerja  dianggap sebagai kamuflase pemerintah untuk memuluskan investasi asing secara instan. Apalagi pembahasan dan perumusan juga dilakukan tanpa disertai keterlibatan dari perwakilan buruh dan pekerja. Situasi ini membuat kaum buruh merasa dibayangi oleh realitas sistem kerja paksa yang akan mengkoloni hak- hak mendasar mereka.

UU Cipta  Kerja  lahir dari inisiatif pemerintah dan DPR yang memandang perlunya ‘penyederhanaan’ aturan hukum. Atau perundang-undangan ketenagakerjaan yang dibuat dengan tujuan mengevaluasi atau merevisi UU yang dis-harmoni dan tumpang tindih ke dalam satu payung hukum terpadu.

Di tengah kelesuan ekonomi akibat wabah, tak dapat ditampik bahwa hadirnya investor asing merupakan hal penting bagi Indonesia. Banyak sektor yang membutuhkan bantuan dana segar dari luar negeri.

Masuknya pemodal asing untuk investasi jelas memberi stimulus besar bagi ekonomi Indonesia supaya dapat tumbuh berkembang secara baik. Hadirnya UU Cipta Kerja bagi pemerintah memberi kebijakan efektif bagi lahirnya percepatan stimulus investasi secara global. Karena adanya produk ketenagakerjaan yang terpadu akan memberi kemudahan bagi para investor asing untuk lebih mudah menanamkan investasinya di Indonesia.

Meskipun terlihat efektif, tetapi generalisasi atas nama kebutuhan investasi juga tak sepenuhnya menjadi pembenaran bagi pemerintah untuk melegalisasi UU Cipta Kerja tanpa adanya partisipasi publik. Kita dapat mengambil contoh dalam penerapan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam realitasnya masih banyak menghadirkan penyimpangan akibat tidak adanya sanksi hukum yang tegas dan lemahnya pengawasan kepada pihak korporasi.

Hal yang tak dapat ditepis dalam sejarah, jika persoalan buruh, ketenagakerjaan dan kepentingan korporasi selalu berada dalam kondisi yang bertolak belakang. Pada satu sisi korporasi akan selalu berbicara soal efektivitas bisnis dan efesiensi kerja. Sedangkan pada sisi yang lain, kelompok buruh akan terus menyuarakan segala hak kesejahteraan dari kebutuhan komunal mereka. Terminologi sejarah seperti ini akan senantiasa memberi sudut pandang yang berbeda dalam implementasi kebijakan normatif dunia usaha.

Menyikapi dikotomis masalah ketenagakerjaan tersebut, secara rasional tanpa harus menunggu bentuk produk hukum besar bernama UU Cipta Kerja, seluruh pelaku industri di Indonesia sebenarnya dapat saja secara profesional memberi keadilan bagi buruh tanpa harus mengurangi hak–hak yang selama ini menjadi kebutuhan dasar kaum buruh.

Sayangnya, banyak pengusaha dan perusahaan di Indonesia yang lebih memilih untuk menerapkan sistem kapitalisme sebagai instrumen besar dalam mendapatkan keuntungan yang sebanyak mungkin dan meminimalisir segala hak dan kepentingan buruh. Konsekuensi logisnya, buruh pada kontekstual ini menjadi pihak yang sangat tertekan akibat koloni kaum pengusaha dan perusahaan. Padahal apapun bentuk regulasi dan sirkulasi ekonomi yang akan dilaksanakan jelas tak dapat berjalan dengan baik tanpa ada peranan buruh. Karena itulah, sudah sepatutnya para pelaku ekonomi juga memenuhi hak-hak dasar kaum buruh.

UU Cipta Kerja  yang hari ini menuai banyak kritikan dari publik dan utamanya kaum buruh, memunculkan bayang–bayang kekhawatiran akan marginalisasi peran kaum buruh. Formalisme hukum yang kuat dalam produk UU Cipta kerja sangat dikhawatirkan mampu menghidupkan kembali semangat

domein “verklaring” atau “paklaring” pernyataan kerja khas aturan kolonial Belanda yang memberi celah terbuka bagi setiap pengusaha dan pemilik modal untuk mengorbankan kewajiban pemberian hak pengusaha kepada para buruh.

Dalam sejarah, pada akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Hindia Belanda pernah menerbitkan satu aturan kontroversi tentang “Koeli Ordonantie” untuk dapat menjamin ke lapangan berusaha bagi banyak pengusaha dalam mempekerjakan buruh dan kuli perkebunan tembakau secara paksa dan diskriminatif dengan menerapkan gaji dan upah yang sangat murah.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Diduga Hendak Tawuran, 18 Remaja Diamankan

Minggu, 17 Maret 2024 | 18:55 WIB

DPRD Kota Banjarmasin Usulkan 732 Pokir

Jumat, 15 Maret 2024 | 14:35 WIB
X