Persoalan korupsi dan oligarki dibedah dalam Webinar yang digelar Integrity Law Firm, Jumat (23/10)kemarin. Para pakar membedah persoalan korupsi dan oligarki di Kalsel.
Sejumlah tokoh mengupas persoalan tersebut dan mengingatkan bahwa Pilkada 2020 bisa menjadi pintu masuk bagi praktik korupsi dan langgengnya oligarki di Kalimantan Selatan. Di antara pembicara lain yang tampil, Denny Indrayana cukup menarik perhatian. Narasumber lain adalah mantan juru bicara KPK Febri Diansyah, pakar hukum tata negara UGM Zainal Arifin Mochtar, dan mantan peneliti ICW yang juga advokat Donal Fariz.
Mengawali sebagai pembicara, Denny Indrayana yang juga Calon Gubernur Kalsel mengatakan sebagai provinsi yang kaya sumber daya alam (SDA), Kalsel memiliki kecenderungan terhadap praktik korupsi dan bercokolnya oligarki.
"Kalsel menjadi salah satu primadona dalam investasi SDA. Baik sektor kehutanan, tambang, dan lain-lain. Ditambah kecenderungan biaya politik tinggi, mestinya pararel dengan potensi tingginya kasus korupsi. Di sisi lain, menjadi penting melihat kenapa di Kalsel tidak mempunyai penegakan hukum efektif, sehingga tidak banyak kasus koruspsi yang jadi perkara," ucapnya.
Haji Denny, begitu panggilan Denny Indrana mengatakan, Kalsel bukan wilayah yang imun dari praktik korupsi dan oligarki. Kekuasaan uang yang dipresentasikan oleh hadirnya pemodal besar yang berkelindan dengan kekuasaan, memunculkan kekuatan baru yang ia sebut sebagai ‘duitokrasi’. Artinya berkuasanya uang atas proses demokratisasi yang dibangun melalui sistem politik. Baik melalui Pilkada maupun Pilpres.
"Agar perilaku koruptif bisa dihentikan, maka masyarakat harus menolak duitokrasi. Sayangnya di masyarakat sudah menjadi persoalan yang mendasar, karena menjadi tak terpisahkan dalam demokrasi," ungkapnya.
Bagi pegiat anti korupsi ini, salah satu pintu masuknya untuk menyetop korupsi dan mengurangi kadar oligarki, adalah pelaksanaan pilkada yang jujur, adil, dan tanpa money politics. Hal ini penting untuk melihat relasi oligarki, terkait siapa yang dipilih sebagai kepala daerah dan siapa pemodalnya.
"Saya terkejut, mendengar pilkada di Kalsel biayanya bisa mencapai ratusan miliar. Ini menunjukkan adanya kepentingan yang berkelindan. Kalo sampai nilainya ratusan miliar, di balik itu ada keuntungan bisnis lebih besar," tegasnya.
Sementara peneliti ICW Donal Fariz mengatakan, ada double problem di Kalsel dikaitkan dengan demokrasi. Selama 10 tahun bekerja di ICW, ia melihat daerah ini dari sudut pandang kejahatan lingkungan, kacamata pemberantasan korupsi, dan demokrasi.
"Dari sisi kejahatan SDA, yang punya interkoneksi langsung dengan korupsi dan demokrasi. Kalsel selama ini di ruang publik terkenal dengan tempat elit politik lokal dan nasional menambang uang. Pertanyaan sederhana adalah, apakah tambang uang diKalsel bagi elite politik membawa dampak bagi masyarakat," kata Donal.
Ia menantang, pertanyaan ini harus dijawab oleh masyarakat Kalsel sendiri. Dengan melihat data KPK, ada sejumlah perusahan tambang ilegal yang tak menyetor royalti kepada negara, adalah satu persoalan lokal di Kalsel. "Itu dari satu sisi kejahatan SDA. Tentu, uang pergi ke tempat yang tidak semestinya, bisa lari ke pembiayaan demokrasi dengan menjadi cukong politik. Istilahnya, uang lari ke kantong yang salah," tandasnya.
Ia menilai, ada interkoneksi antara kejahatan SDA dengan kejahatan korupsi. Bagaimana KPK melihat itu? Tentunya, data KPK bisa 60 % kejahatan korupsi di negeri ini, adalah kejahatan korupsi politik. Kejahatan yang digunakan elite politik untuk memperkaya dan memutar uang ke sektor politik.
"Bagaimana cara menangkal elite predatoris yang menghabisi sektor tambang atau hutan? Jawabannya adalah di kontestasi pilkada. Dalam konteks yang lebih spesifik, hipotesisnya kejahatan SDA, korupsi politik, jual beli jabatan, perizinan, dan lainnya tak bisa dilepas dari korupsi politik yang asal muasalnya adalah kontestasi demokrasi," jelasnya.
Sementara mantan jubir KPK Febridiansyah menyatakan, oligraki selalu bersekongkol dengan politisi, aparat hukum, dan lainnya. Untuk bisa melanggengkan kekayaannya. Data menunjukkan, saat ini ada sekitar 400 politisi yang berperkara dengan KPK. Terdiri dari gubernur sebanyak 21 orang, walikota/bupati atau wakil bupati /wakil walikota 122 orang, dan anggota DPR sebanyak 257 orang.
"Mereka berperkara terkait denga kasus suap , gratifikasi, pilkada, perizinan, penyalahgunaan anggaran, dan lainnya," katanya.